Pengertian Epistimologi Tafsir Politik/ Haraki/Siasi #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-2604165452128321"
     crossorigin="anonymous"></script>
                                                 

 Abdurrohim Harahap S.Th. I. M. Us. 









This article was presented to discuss about the history of political interpretation in it covers two aspects, the first is politicization of interpretation and the second interpretation of political texts. Since the emergence of Islamic studies, a variety of interpretation from different background and approach has been given to the Koran but political interpretation relatively very new. There is no doubt that the Koran is a guide for the pious in this life.      
Keyword : Politics, Interpretation, Islamic Studies
  1. Pendahuluan
Tidak ada perdebatan dikalangan para cendekiawan muslim baik dari masa klasik maupun kontemporer bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi setiap orang yang bertaqwa dan kepada orang yang ingin belajar karena pemahaman terhadap Al-Qur’an selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai, pemahaman selalu berkembang sesuai dengan umat islam yang terus terlibat dalam penafsiran.
Sebagai petunjuk Al-Qur’an mencakup berbagai hal dalam kehidupan manusia baik dalam hal ibadah, muamalah, ekonomi, bahkan tidak lupa juga Al-Qur’an tampil guna menjadi petunjuk dalam hal politik. Sungguhpun demikian ayat-ayat tentang politik sangat jarang ditemukan dalam kitab-kitab klasik, oleh sebab itu dengan perkembangan zaman serta terjadinya dialektika antara Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu modern seperti sains, seni dan gaya hidup modern maka penafsiran Al-Qur’an lebih bersifat modern dan bervariasi.
  1. Bingkai Tafsir Siyasi Haraki : Reading of Reality
kajian tafsir siyasi haraki tidak terlepas dari dua aspek yaitu pertama politisasi tafsir yaitu upaya seseorang baik itu individu ataupun kelompok untuk menguasai serta menjustifikasi faham dan ideologi dan kedua penafsiran ayat-ayat politik yaitu upaya seorang mufassir untuk menggali nilai-nilai ataupun unsur-unsur politik dalam Al-Qur’an.
Politisasi tafsir telah terjadi pada masa klasik, dapat dikatakan jari-jari politik pada masa klasik telah mengambil tempat tersendiri dalam memasuki tafsir Al-Qur’an al-karim seperti contoh apa yang terjadi pada perdebatan dalam tahkim yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dengan umayyah yang disana menimbulkan beberapa golongan antara lain Syi’ah yang setia dengan sayyidina Ali bin Abi Thalib serta golongan khawarij yang menolak tahkim tersebut dan menanamkan benih kebencian terhadap Ali bin Abi Thalib.[1]
Berangkat dari peristiwa tersebut kedua golongan tersebut berlomba-lomba untuk menafsirkan Al-Qur’an untuk kepentingan golongan masing-masing agar dapat menguasai satu dengan lainnya. kedua golongan tersebut merupakan salah satu sampel bahwa telah terjadi politisasi tafsir dalam hal ini untuk kepentingan politik golongan mereka masing-masing.
Menurut Goldziher ada dua motif terbentuknya golongan islam pada masa klasik yaitu motif teologi dan motif ideologi politik kedua motif tersebut sangat mempengaruhi terhadap upaya kelompoknya dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh karena itu tidak mengherankan jika kita menemukan para mufassir dari dinasti umayyah serta dinasti abbasiyah yang mengkonsentrasikan aktivitas gerakan mereka dengan mengkaji Al-Qur’an untuk membenarkan madzhab.[2]
Sekali lagi menurut Goldziher bahwa golongan yang paling banyak dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan kepentingan madzhab dan politiknya adalah Syi’ah, demikian luas penafsiran mereka sehingga mereka memiliki kitab-kitab tafsir sendiri yang khas. Bahkan diantara mereka ada yang mampu terlampau “nekat” dalam menafsirkan sehingga jauh menyimpang.[3]
Sekelumit kisah diatas merupakan refleksi politik yang terjadi pada masa klasik bahkan fenomena politisasi tafsir masih terjadi sampai masa sekarang karena manusia memiliki naluri untuk menguasai atas lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Max Weber “the state is a relation of men dominating men, a relation supported by means of legitimate”.
Terlepas dari kepentingan politik para mufassir kontemporer melakukan penafsiran secara tematik terhadap ayat-ayat yang memiliki nilai-nilai dan unsur-unsur politik. kajian ini relative sangat baru karena perkembangan ilmu politik sendiri baru mengalami perkembangan pada masa kontemporer, adapun beberapa contoh nilai-nilai atau unsur-unsur politik dalam Al-Qur’an adalah prinsip-prinsip pemerintahan yang meliputi musyawarah, keadilan dll
  1. Pengertian Siyasi Haraki
Siyasi secara bahasa adalah ilmu kenegaraan atau tatanegara; sebagai kata kolektif yang menunjukan pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Sedangkan menurut istilah ilmiah kontemporer yang popular adalah kata siyasa/politik adalah seni dalam menguasai atau lebih rincinya adalah bermacam-macam kegiatan politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu serta tatacara pengambilan keputusan dan menyusun skala prioritas dari tujuan yang telah dipilih.[4]
Sedangkan berdasarkan orientasinya politik dibagi menjadi 2 pertama politik yang berorientasi kepada kekuasaan (power) yang disini diwakili oleh para pejabat pemerintahan kedua politik yang berorientasi kepada pelayanan kepada masyarakat biasanya dilakukan oleh para orang-orang yang tergabung dalam LSM.[5]
Haraki merupakan tafsir yang mencakup semua tafsir yang didalamnya ada unsur dan komposisi kepentingan ideologis, Tafsir Siyasi Haraki merupakan tafsir yang facus pada kepolitikan dengan berbasis pada gerakan ideologis, mengandung maksud tafsir dengan mengambil ayat-ayat kepolitikan dengan tidak melalaikan unsur ideologi, atau gerakan yang dipakai oleh para mufassir untuk mengambil alih kekuasaan dan mewarnai dunia perpolitikan.
  1. Karakteristik Tafsir Siyasi Haraki
Sejarah tafsir siyasi haraki merupakan sejarah politik islam juga karena tafsir siyasi haraki memiliki pengaruh yang sangat kuat didalam terbentuknya perpolitikan islam. adapun pengaruh tersebut tidak terlepas dari karakteristik tafsir siyasi haraki tersebut yang berbeda dari corak tafsir yang lain yaitu antara lain:
Pertama tematik, Sejak masa klasik sampai masa kontemporer tafsir siyasi haraki selalu mendahulukan fenomena atau ideologi dari pada teks Al-Qur’an dalam artian Al-Qur’an menjadi objek penafsiran sedangkan mufassir sebagai subjek yang mendahulukan tema-tema politik (tematik) terlebih dahulu kemudian menafsirkannya sesuai dengan keadaan ideologi mufassir.
Kedua bersifat ideologis, sebaaimana dalam pembahasan definisi tafsir siyasi haraki yaitu tafsir yang menggunakan ideologi sebagai upaya untuk menguasai serta mewarnai wawasan perpolitikan, oleh sebab itu tujuan utama dalam tafsir siyasi haraki adalah penanaman ideologi.
Ketiga sekterianisme, para mufassir mengunakan tafsir untuk mendukung kepentingan madzhab/kekuasaan dan tujuannya agar melanggengkan eksistensi politik dan kekuasaan yang pada individu ataupun kelompok
Keempat kebenaran subjektif, pada dasarnya penafsiran yang didasarkan pada pendekatan politik hanya bertujuan pada orientasi kekuasaan sehingga apabila terjadi pertentangan dengan penafsiran lainnya, maka para mufassir mencari alasan-alasan lainnya untuk membenarkan pendapat mereka meskipun alasan-alasan tidak sesuai dalam artian terlampau “nekat” dan tidak didasarkan pada keilmuan.
  1. Fenomena pembacaan Siyasi Haraki sebagai Alternatif
Pembacaan siyasi haraki dalam penafsiran Al-Qur’an merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan lagi karena kuasa merupakan sifat manusia maka penafsiran untuk melegitimasi sebuah kekuasaan merupakan hal yang mengiringi sifat kuasa manusia tersebut. Dalam sejarahnya sifat kuasa manusia tersebut dapat terrekam oleh kajian sejarah yaitu antara lain dapat dibagi menjadi 3 periode 1. Periode klasik 2. Periode pertengahan 3. Periode modern
Periode klasik dalam percaturan politik islam Nampak pada peristiwa tahkim yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan Umayyah dan memunculkan dua golongan yaitu Syia’ah sebagai pendukung ali dan Khawarij sebagai golongan yang menentang adanya perjanjian tahkim dan sangat membenci sayyidina Ali.
  1. Epistimologi Tafsir Siyasi Haraki
  2. Metodologi
Tafsir siyasi haraki merupakan tafsir yang mengkombinasikan antara metode tematik dengan komparasi pendapat para ulama, metode tematik (maudhui) digunakan dengan alasan pengambilan ayat-ayat yang ingin ditafsirkan hanya berkisar pada ayat-ayat politik saja, ini tidak mengherankan karena mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat politik berangkat dari respon terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atau menyoroti kejadian-kejadian bernuansa politik yang sedang populer.
Pengunaan tematik sebagai metode penafsiran dalam tafsir siyasi haraki merupakan upaya yang dilakukan para mufassir untuk memudahkan dalam transfer ideologi, karena dengan mengunakan metode maudhu’i penyampaian akan lebih komprhehensif dan mudah dipahami sebagaimana yang dilakukan oleh amina wadud dia bukan hanya melakukan ijtihad fiqhiyah yang mana hanya berupaya menggali hukum yang ada dalam Al-Qur’an saja akan tetapi lebih dalam lagi adalah amina wadud berupaya mentransformasikan gagasan feminismenya kepada masyarakat lewat karya-karyanya.
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam proses penafsiran siyasi haraki adalah menurut Abu Hay al-Farmawy dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i secara rinci menyebutkan ada tujuh langkah yang ditempuh penulis hanya menyebutkan empat dari tujuh tersebut karena keempat langkah tersebut merupakan langkah yang selalu digunakan para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat politik yaitu:
(1). Menetapkan masalah yang berkaitan dengan politik atau menetapkan fenomena-fenomena dan kejadian-kejadian bernuansa politik baik yang sedang berlangsung atau yasng sudah usai.
(2). Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan fenomena dan kejadian politik tersebut guna mentransformasikan nilai-nilai Al-Qur’an kepada fenomena tersebut ataupun sebaliknya mentransformasikan ideologi politik terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut
(3). Mengkontekstualisakan ayat-ayat tersebut sesuai dengan kebutuhan serta tujuan yang dikehendaki penafsir
(4). Menyebutkan dalil-dalil yang lain guna menguatkan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat plitik tersebut baik menggunakan dalil nash seperti ayat-ayat Al-Qur’an yang lain serta hadits-hadits nabi dan juga pendapat para ulama’ dalam kitab-kitab klasik ataupun dalil aqli seperti penggunaan teori-teori politik dll.
  1. Sumber Penafsiran
Teori sosiologi menyebutkan, bahwa terdapat pengaruh nilai-nilai sosial terhadap semua persepsi tentang realitas, teori ini juga menyatakan, bahwa tidak ada praktik penafsiran (act of commong to understanding) dapat terhindar dari kekuatan formatif latar belakang (background) dan komunitas paradigma yang dianut oleh seorang penafsir.[6]
Guna memberikan penafsiran yang komprehensif ada beberapa elemen atau unsur-unsur yang diperlukan antara lain:
  1. Al-Qur’an
  2. Hadits Nabi
  3. Fenomena Politik
  4. Konteks Sosial Masyarakat
  5. Kekuatan Formatif Latar Belakang Penafsir
  6. Tokoh dan Contoh Penafsiran
Berangkat dari orientasi pemahaman politik yang terdapat dalam tafsir, maka aa beberapa ulama’ yang masuk dalam kategori mufassir tafsir siyasi haraki yaitu antara lain : Sayyid Quthub dalam kitabnya yang berjudul Tafsir fi Dhilallil Qur’an, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho dalam tafsir fenomenalnya yaitu Al-Manar kemudian ada Hasan Al-Bana dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir Siyasi lil Islam bahkan mufassir indonesia yang memiliki konsentrasi perpolitikan dalam tafsir adalah Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.
Adapun contoh penafsiran siyasi haraki, penulis hanya mencamtumkan beberapa penafsiran dari Sayyid Quthub
Contoh penafsiran Sayyid Qutub
penulis telah memaparkan genre haraki dalam Tafsir fi Dhilal al-Quran, penulis pun hanya memaparkan tipologi secara abstrak tanpa mengajukan kritik yang dikerangkakan guna mempertanyakan ulang konsepsi-konsepsi Sayid Qutub.
Oleh sebab itu, maka kesempatan kali ini penulis akan memaparkan secara kritis pokok pemikiran haraki Sayid Qutub. Menurut J. Jonsen dan Edmonde Robet, Tafsir fi Dhilal al-Qur`an merupakan “commentaire apologetique” (tafsir difa’i) atas realitas sosio-politik yang terjadi pada era pemerintahan Gamal Abd al-Naseer.
Tafsir fi Dhilal al-Qur`an ditulis di penjara dalam “situasi konflik” dengan penguasa. Dengan demikian, diskursus ini harus dijelaskan melalui pendekatan antropologi fungsional konflik dimana sebuah konflik justru dipandang sebagai penyulut dinamika. Konflik dapat berfungsi sebagai pengukuh identitas kelompok manakala konflik tersebut kuat mengemuka. Penggolongan minna (in group) untuk mengidentifikasi bagian kelompoknya dan minhum (out group) bagi kelompok lawan.
Dalam konteks konflik ini, Sayid Qutub senantiasa mempertentangkan antara identitas Islam vis a vis jahiliyah, iman vis a vis kafir, benar vis a vis salah, baik vis a vis buruk, kedaulatan Tuhan vis a vis kedaulatan manusia, Allah vis a vis taghut, manhaj Ilahi vis a vis minhaj setan, dan seterusnya. Masing-masing bersifat kontradiktif dan tidak ada solusi kompromistis..
Masing-masing kelompok merasa harus menyingkirkan rivalnya jika ingin menjaga otoritas dan eksistensinya. Qutbistes (kelompok Qutub) dengan kekuatan solidaritas ideologisnya harus membasmi kelompok lain yang jahil, kafir, salah, buruk, taghut, dan kedaulatan manusia. Pemikiran seperti ini tidak menyelesaikan konflik dan tidak menciptakan ketentraman. Yang muncul justru menguatnya ketegangan internal antara umat Islam sekaligus hubungan eksternal antara Islam dan Barat.
Ketika menafsirkan (QS. Al-Maidah: 44)
artinya: “Barang siapa tidak memutuskan hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka mereka kafir”. Sayid Qutub memaparkan konsep “jahiliyah modern” sembari mengkritik keras kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi. Sayid Qutub berkata,
“Sesungguhnya karakteristik paling khusus dari sifat keilahian Allah adalah konsep kedaulatan Allah (al-hakimiyyah lillah). Dan seseorang yang membuat undang-undang bagi segenap kelompok manusia maka ia telah mencoba menduduki posisi Tuhan. Rakyat yang mengikutinya adalah budak-budak pemerintah dan bukan hamba Tuhan. Mereka terperangkap dalam agama pemerintah dan bukan dalam agama Allah”… “Jahiliyyah bukanlah periode tertentu pada masa lalu, tetapi ia dapat mewujud pada masa kini jika karakteristiknya mewujud pada sebuah sistem pemerintahan yang kebijakannya dikembalikan kepada legislasi hawa nafsu manusia”… “Individu, kelompok, atau suara mayoritas di parlemen yang membuat undang-undang adalah jahiliyyah”.[7]
Konsep kedaulatan Tuhan vis a vis kedaulatan manusia versi Sayid Qutub selain dipengaruhi oleh pemikiran al-Maududi, juga berakar dari slogan klasik kaum Khawarij “La Hakimiyata illallah”. Slogan tersebut muncul pada masa arbitrase (tahkim) antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Slogan tersebut pada masa Dinasti Muawiyah dan Abbasiyah diintegrasikan dengan konsep teologis predestinasi (jabariyah) kemudian digunakan menjustifikasi otoritas kekuasaan yang despotis. Muawiyah bin Abi Sufyan berkata, “Bumi ini milik Allah, dan aku adalah Khalifah Allah. Apapun yang aku ambil adalah milikku dan apa saja yang aku tinggalkan adalah milik rakyat”. Pada masa Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mashur berkata, “Wahai orang-orang, kami telah menjadi pemimpin kalian dan kami akan mengatur kalian dengan hukum Allah. Aku adalah Khalifah Allah”.
Konsep kedaulatan Tuhan adalah ciri pemikiran kalangan fundamentalis anti demokrasi. Selain Sayid Qutub, Taqiyuddin Nabhani dan tokoh-tokoh HIzbut Tahrir lainnya juga mengusung pemikiran ini. Dalam sejarahnya, menurut penulis, kedaulatan Tuhan memang pernah ada, tapi hanya terjadi pada era pemerintahan Rasulullah, dimana segala kebijakan pemerintah senantiasa dikawal oleh petunjuk wahyu. Namun, kawalan wahyu secara langsung tersebut telah berakhir seiring dengan wafatnya Rasulullah. Pasca pemerintahan Rasulullah, kebijakan pemerintah Islam tidak dikawal lagi oleh wahyu secara langsung, melainkan hanya berdasarkan “pemahaman atas wahyu”.
Lebih dari itu, konsep kedaulatan Tuhan yang dibangun oleh Sayid Qutub guna menghantam kedaulatan rakyat adalah sebuah konsep politis berdasarkan penafsiran “tekstual” (harfiyah) terhadap QS. al-Maidah: 44. Padahal, sejatinya, ayat tersebut turun dalam konteks mengkritik kaum Yahudi yang menyembunyikan hukum rajam bagi pelaku zina. Para ahli tafsir seperti al-Qurthubi, al-Wahidi, al-Suyuthi, al-Baydhawi, al-Nasafi, al-Thabari, dan al-Zamakhsyari sepakat menyatakan bahwa ayat tersebut turun untuk kaum Yahudi.
Ironisnya, ayat tersebut dipolitisir oleh Sayid Qutub untuk mengkafirkan semua umat Islam yang menganut sistem pemerintahan parlementer dan demokrasi yang memposisikan manusia sebagai legislator undang-undang. Namun, menurut penulis, dengan berdemokrasi kita tidak otomatis kafir sebab demokrasi tidak hendak menyingkirkan hukum Tuhan. Demokrasi justru memberikan ruang kepada rakyat untuk menyampaikan berbagai aspirasinya, tak terkecuali aspirasi dari para pemeluk Islam, asalkan aspirasi tersebut tidak mendiskriminasikan pemeluk agama lain.
Contoh penafsiran Buya Hamka
Hamka dalam karyanya tidak memberikan definisi secara jelas tentang syūra. Ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an dan hadis tidak memberikan informasi detail tentang bagaimana melakukan syūra. Sebagai bahan pertimbangan Rasulullah dalam hal ini memakai menteri-menteri utama seperti Abu Bakar, Umar, dan menteri tingkat kedua yakni Usman dan Ali, kemudian terdapat enam menteri lain, serta satu menteri ahli musyawarah dari kalangan Anshar. Islam menurut Hamka telah mengajarkan pentingnya umat mempraktikkan sistem syūra ini. Sementara itu, teknik pelaksanaanya tergantung pada keadan tempat dan keadaan zaman.
Sementara itu, menurut Hamka dalam (Qs: as-Syuara ayat 38)
Artinya : Lalu dikumpulkan Ahli-ahli sihir pada waktu yang ditetapkan di hari yang ma’lum
Mengandung penjelasan bahwa kemunculan musyawarah disebabkan karena adanya jamaah. Dalam melakukan shalat diperlukan musyawarah untuk menentukan siapa yang berhak untuk menjadi imam. Dengan demikian, menurut Hamka dasar dari musyawarah telah ditanamkan sejak zaman Makah. Sebab, ayat ini diturunkan di Makah. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dalam menjalankan musyawarah harus didasarkan pada asas al-maslahat. Nabi dalam hal ini menegaskan segala urusan terkait dengan dunia, misal masalah perang, ekonomi, hubungan antar sesama manusia dibangun atas dasar dibangun atas dasar timbangan maslahat dan mafsadat-nya.[8]
Hamka dalam hal ini mengkontekskan ayat Al-Qur’an tentang syura dalam konteks keindonesiaan. Menurutnya, bangsa Indonesia dapat memilih sistem pemerintahan dalam bentuk apapun untuk menjalankan roda pemerintahan, tetapi tidak boleh meninggalkan sistem syura yang di dasarkan atas maslahat. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa maslahat adalah prinsip dasar dalam melakukan syūra yang wajib dilakukan oleh setiap bangsa dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syirbasyi Ahmad, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001)
Goldziher Ignaz, Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern, (Penerbit Elsaq Press, Yogyakarta, 2006)
Budiardjo Mirtan, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia, Jakarta, 2009)
El-Guyani Gugun, Who Want To Be The Next President, (Gramedia, Jakarta, 2010)
Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Raja Grafindo Persada, jakarta, 1982)
Qutub Sayyid, Tafsir Fi Dhilal Al-Quran, Vol. I, Cet. Dar Al-Syuruq,
Hamka, Tafsir Al-Azhar,( Jakarta: Pembimbing Masa, 1973.)
[1] Ahmad Asy-Syirbasyi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001) Hlm. 149
[2] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern, (Penerbit Elsaq Press, Yogyakarta, 2006) Hlm. 324
[3] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik…..Hlm. 340
[4] Mirtan Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia, Jakarta, 2009) Hlm. 8
[5] Gugun El-Guyani, Who Want To Be The Next President, (Gramedia, Jakarta, 2010) Hlm. 20
[6] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Raja Grafindo Persada, jakarta, 1982)hlm. 233
[7] Sayyid Qutub, Tafsir Fi Dhilal Al-Quran, Vol. I, Cet. Dar Al-Syuruq, Hlm. 890-891
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar,( Jakarta: Pembimbing Masa, 1973.)Hlm. 452

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Tafsir Tematik #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.

Pengertian Tafsir Lughawi #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.