<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-2604165452128321"
crossorigin="anonymous"></script>
Abdurrohim Harahap S.Th. I. M. Us.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sayyid
Qutub adalah tokoh agama, ilmuwan, sastrawan, ahli tafsir dan intelektual Islam
asal Mesir, dalam sejarah hidupnya, Sayyid Qutub tidak pernah lelah untuk
berdakwah meskipun beliau dizalimi, disiksa dan dipenjara puluhan tahun, beliau
tidak pernah putus asa, beliau adalah sosok yang luar bisa dengan segala
kegigihannya dalam berdakwah.
Sayid Qutub hidup dalam nuansa iman ketika menulis zhilal,
Beliau hidup bersama Al Qur’anul Karim
dengan surat-surat, ayat-ayat, dan kalimat-kalimatnya. Dari Al Qur’an ini
Beliau menimba makna-makna yang begitu banyak serta merasakan kenikmatan hidup
yang penuh berkah di bawah naungannya, Beliau memperoleh curahan rahmat Allah
di dalam penjara serta diberi anugerah dan pertolongan untuk bisa beradaptasi
di dalamnya serta mengubah kondisi cobaan di dalam penjara menjadi sebuah
anugerah, sehingga ilmu, keimanan dan keyakinan beliau justru semakin
bertambah, dan perkataan beliau dalam Zhilal merupakan buah dari ilmu,
anugerah dan kekayaan tersebut.
Maka tidak perlu di dengar lagi perkataan sebagian
pencela dalam melancarkan tuduhan yang bukan-bukan terhadap Sayid mengenai
kejiwaan dan perasaan-perasaan beliau, ilmu dan anugerah beliau, kesehatan
pemikiran beliau, keseimbangan pandangan-pandangan beliau, serta kebenaran
hukum-hukum dan penjelasan-penjelasan
beliau.[1][1]
Sayyid Quth dizalimi dan dipenjara rezim yang berkuasa
bukan karena tindakan kriminal yang beliau lakukan tetapi karena tulisan dan
karya-karyanya yang mampu menggugah ribuan pemuda untu bangkit melawan kejahiliahan
dan menegakkan Islam, dan dalam penjara itulah beliau torehkan karya yang
monumental yaitu Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Biografi Sayyid Qutub ?
2.
Bagaimana Metodologi tafsir Sayyid Qutub dalam Fi Zhilalil
Qur’an ?
1.3. Tujuan
Masalah
1.
Untuk mengetahui Biografi Sayyid Qutub
2.
Untuk mengetahui Metode tafsir Qutub dalam Fi Zhilalil
Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Sayyid Qutub
Sayyid Quthb dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke-10 tahun. Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA).
Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastra sekaligus diploma pendidikan.
Berbekal persedian dan harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga sederhana, Qutb di kirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota Mesir, Cairo. Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih berkembang di luar kota asal tak disia-siakan oleh Qutb. Semangat dan kemampuan belajar yang tinggi ia tunjukkan pada kedua orang tuanya. Sebagai buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi Tajhisziyah Dar al Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang bisa meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Qutb beruntung menjadi salah satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933 Qutb dapat menyabet gelar sarjana pendidikan.
Sepanjang hayatnya, Sayyid Qutb telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang. Penulisan buku-bukunya juga sangat berhubungan erat dengan perjalanan hidupnya. Sebagai contoh, pada era sebelum tahun 1940-an, beliau banyak menulis buku-buku sastra yang hampa akan unsur-unsur agama. Hal ini terlihat pada karyanya yang berjudul “Muhimmat al-Syi’r fi al-Hayâh” pada tahun 1933 dan “Naqd Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Misr” pada tahun 1939.
Pada tahun 1940-an, Sayyid Qutb mulai menerapkan unsur-unsur agama di dalam karyanya. Hal itu terlihat pada karya beliau selanjutnya yang berjudul “al-Tashwîr al-Fanni fi al-Qur`an” (1945) dan “Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an”.
Pada tahun 1950-an, Sayyid Qutb mulai membicarakan soal keadilan, kemasyarakatan dan fikrah Islam yang suci menerusi ‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan ‘Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah’. Selain itu, beliau turut menghasilkan “Fî Zhilâl al-Qur`ân’” dan “Dirâsat Islâmiyyah”. Semasa dalam penjara, yaitu mulai dari tahun 1954 hingga 1966, Sayyid Qutb masih terus menghasilkan karya-karyanya. Di antara buku-buku yang berhasil ia tulis dalam penjara adalah “Hâdza al-Dîn”, “al-Mustaqbal li Hâdza al-Dîn”, “Khashâ`is al-Tashawwur al-Islâmi wa Muqawwimâtihi’ al-Islâm wa Musykilah al-Hadhârah” dan “Fî Zhilal al-Qur`ân’ (lanjutannya).
Tak lama setelah itu ia diterima bekerja sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Selama bekerja, Qutb menunjukkan kualitas dan hasil yang luar biasa, sehingga ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih tinggi dari sebelumnya.Qutb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di Amerika, tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di negeri Paman Sam itu. Wilson’s Teacher’s College, di Washington ia jelajahi, Greeley College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford University di California tak ketinggalan diselami pula. Seperti keranjingan ilmu, tak puas dengan yang ditemuinya ia berkelana ke berbagai negara di Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya. Tapi itupun tak menyiram dahaganya. Studi di banyak tempat yang dilakukannya memberi satu kesimpulan pada Sayyid Qutb.
Hukum dan ilmu Allah saja muaranya. Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matrealistis dan jauh dari nilai-nilai agama. Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid Qutb kembali lagi ke asalnya. Seperti pepatah, sejauh-jauh bangau terbang, pasti akan pulang ke kandang. Ia merasa, bahwa Qur’an sudah sejak lama mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Ia kembali ke Mesir dan bergabung dengan kelompok pergerakan Ihkwanul Muslimin. Di sanalah Sayyid Qutb benar-benar mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas dan ilmunya, tak lama namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun 1951, pemerintahan Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran ikhwanul muslimin.
Saat itu Sayyid Qutb menjabat sebagai anggota panitia pelaksana program dan ketua lembaga dakwah. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan , Qutb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam H.B. Jassin lah. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis tentang banyak hal, mulai dari sastra, politik sampai keagamaan.Empat tahun kemudian, tepatnya Juli 1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua bulan tajam karena dilarang beredar oleh pemerintah. Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah sikap keras, pemimpin redaksi, Sayyid Qutb yang mengkritik keras Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel Naseer. Saat itu Sayyid Qutb mengkritik perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Mesir dan negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat itu, kekejaman penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses yang panjang dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan dan dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya. Berpindah-pindah penjara, begitulah yang diterima Sayyid Qutb dari pemerintahnya kala itu.
Hal itu terus di alaminya sampai pertengahan 1964, saat presiden Irak kala itu melawat ke Mesir. Abdul Salam Arief, sang presiden Irak, memminta pada pemerintahan Mesir untuk membebaskan Sayyid Qutb tanpa tuntutan. Tapi ternyata kehidupan bebas tanpa dinding pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian, pemerintah kembali menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru lebih pedih lagi, Sayyid Qutb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa ikut serta dalam penahanan ini. Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah, serta 20.000 rakyat Mesir lainnya. Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul Muslimin membuat gerakan yang berusaha menggulingkan dan membunuh Presiden Naseer. Ternyata, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada. Hukuman yang diterima kali ini pun lebih berat dari semua hukuman yang pernah diterima Sayyid Qutb sebelumnya. Ia dan dua kawan seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.
Meski berbagai kalangan dari dunia internasional telah mengecam Mesir atas hukuman tersebut, Mesir tetap saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada tanggal 29 Agustus 1969, ia syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya. Sebelum ia menghadapi ekskusinya dengan gagah berani, Sayyid Qutb sempat menuliskan corat-coret sederhana, tentang pertanyaan dan pembelaannya. Kini corat-coret itu telah menjadi buku berjudul, “Mengapa Saya Dihukum Mati”. Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir kala itu.
a.
Kerangka Pemikiran Sayyid Qutub
Dalam kitabnya yang
berjudul Sayyid Qutb: Khulâshatuhu wa Manhâju Harakatihi, Muhammad Taufiq
Barakat membagi fase pemikiran Sayyid Qutb menjadi tiga tahap:[7][7]
1. Tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi Islam
2. Tahap mempunyai orientasi Islam secara umum
3. Tahap pemikiran berorientasi Islam militan
Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb sudah mulai merasakan adanya
keenggan dan rasa muak terhadap westernisme, kolonialisme dan juga terhadap
penguasa Mesir. Masa-masa inilah yang kemudian menjadikan beliau aktif dalam
memperjuangnkan islam dan menolak segala bentuk westernisasi yang kala itu
sering digembor-gemborkan oleh para pemikir Islam lainnya yang silau akan
kegemilingan budaya-budaya barat.Dalam pandangannya, Islam adalah way of life
yang komprehansif.Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan
solusi atas problem sosial-kemasyarakatan. Al-Qur`an dalam tataran umat islam
dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola
hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai prinsiputama dalam agama islam,
maka sudah menjadi sebuah keharusan jika Al-Qur`an dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan yang ada. Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Qutb
mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an agar
dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan.Adapun pemikiran beliau yang
sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan kehidupan
yang telah digambarkan-Nya dalam Al-Quran, jika manusia menginginkan sebuah
kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam mengarungi
kehidupan dunia ini.[8][8]
Meski tidak dipungkiri bahwa Al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad
abad tahun lamanya pada zaman Rasulullah dan mengganggambarkan tentang kejadian
masa itu dan sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash Al-Qur`an,
namun ajaran-ajaran yang dikandung dalam Al-Qur`an adalah ajaran yang relevan
yang dapat diterapkan di segala tempat dan zaman. Maka, tak salah jika
kejadian-kejadian masa turunnya Al-Qur`an adalah dianggap sebagai cetak biru
perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya.Dan tidak heran jika
penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan
kembali dalam masa sekarang. Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat
terobosan terbaru dalam menafsirkan Al-Qur`an yang berangkat dari realita
masyarakat yang kemudian meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi
dalam realita tersebut.
b.
Sekilas tentang corak penafsiran sayyid Qutub
Bisa dikatakan kitab Fî Zhlilâl al-Qur`an yang dikarang oleh Sayyid
Qutb termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam
malakukan penafsiran al-Qur`an. Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain
mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan islam,
juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan al-Qur`an. Termasuk
diantaranya adalah melakukan Pembaruan dalam bidang penafsiran dan disatu sisi
beliau mengesampingkan pembahasan yang diarasa kurang begitu penting. Salah
satu yang menonjol dari corak penafsiran beliau adalah mengetengahkan segi
sastera untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan Al Qur’an.[9][9]
Sisi sastera beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan
pandangan kita ke tafsirnya bahkan dapat kita lihat pada barisan pertama. Akan
tetapi, semua pemahaman uslub al-Qur`an, karakteristik ungkapan al-Qur`an serta
dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an
dan pokok-pokok ajarannya yang dikemukakan Sayyid Qutb untuk memberikan
pendekatan pada jiwa pembacanya pada khususnya dan orang-orang islam pada
umumnya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan
manfaat serta hidayah-Nya.Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari
al-Qur`an itu sendiri.Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur`an.
Menurutnya, al-Qur`an adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta
ajaran kehidupan.[10][10]
Menurut
Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang
dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri Al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr
(penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan
Al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga
dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang
kuat untuk berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb, qashash yang terdapat
dalam Al-Qur`an merupakan penuturan derama kehidupan yang senantiasa terjadi
dalam perjalanan hidup manusia. ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita
tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai
tuntunan hidup manusia.
Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan
bahwa tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi
al-Ijtimâ’i (sastera, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background
beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan
bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya
bahasa yang sangat tinggi.[11][11]
c. Pandangan Sayyid Qutub terhadap Naskh dan Mansukh
Fenomena
naskh dan mansukh dalam al-Qur`an memang telah terjadi silang pendapat dalam
kalangan ulama islam sendiri. Disatu pihak ada yang menerimanya dan dipihak
lain ada yang menolaknya dengan beberapa argumentasi mereka masing-masing.
Dalam hal ini, Sayyid Qutb termasuk kedalam kelompok yang menerima adanya naskh
dalam al-Qur`an. Ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan kandungan ayat 106
surat al-Baqarah. Beliau mengemukakan bahwa pada ayat itu al-Qur`an secara umum
menandaskan adannya peralihan sebagian perintah ataupun hukum seiring dengan
perkembangan masayarakat muslim, dan secara khusus ayat tersebut menggambarkan
tentang peralihan qiblat. Adanya pergantian sebagian ketentuan sebagian hukum
adalah untuk kepentingan dan kemashlahatan manusia, serta untuk merealisasikan
kebaikan yang jauh lebih besar sesuai tuntutan perkmbangan masyarakat. Selain
itu, Allah sebagai sang pencipta memang mempunyai hak prerogratif melakukan hal
tersebut. Sayyid Qutb melihat naskh dari perspektif ganda, yaitu perspektif
Tuhan dan manusia.Seakan-akan dia mengatakan, terjadinya naskh merupakan kemauan
Tuhan dan untuk kepentingan manusia.Selain itu, nashk juga sesuai dengan watak
ajaran islam yang evolotif yang lebih mengedepankan kemashlahatan umat. [12][12]
Memang
diakui, naskh terkait dengan dinamika kemashlahatan manusia.Namun, tidak
menjadi persoalan, mengigat kondisi masyarakat pada risalah Nabi merupakan
contoh bagi perkembangan masyarakat manusia sepanjang masa. Hal ini akan bisa
sesuai dengan al-Qur`an sendiri yang selalu aktual dalam menghadapi
perkembangan masa. Dengan demikian gerak sejarah manusia tidak akan keluar dari
dinamika masyarakat Arab pada masa Nabi. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb
sendiri gambaran seluruh persoalan sejarah umat manusia telah ditemukan
jawabannya dalam teks suci melalu pemahaman baku masyarakat masa risalah. Atas
asumsi itulah, Sayyid Qutb disebut sebagai pemikir Fundamentalisme Islam;
pemikir yang mempunyai romantisme terhadap masa lalu Islam (klasik), dan secara
singkatnya dia ingin mewujudkan gambaran masyarakat masa lalu kedalam masa
sekarang dan yang akan datang.[13][13]
d. Contoh Penafsiran Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Zhilal
al-Qur’an
Ayat
surat Al- Anfal Banyak sekali ulama yang mengtakan bahwa ayat ini mengalami
proses naskh. Maka dari itu mereka berpendapat bahwa dahulu perbandinagn pada
saat bertempur dengan kaum kafir adalah satu banding sepuluh.Artinya, satu kaum
muslimin diwajibkan menumpas sepuluh orang kafir. Lalu datanglah ayat
berikutnya yang berisi tentang keringanan yang diberikan oleh Allah kepada
orang islam berupa satu orang islam melawan dua oang kafir. Inilah model
penafsiran ulama-ulama klasik.Sayyid Qutb mencoba menghadirkannya dalam zaman
sekarang. Beliau berpendapat, ayat ini berbicara mengenai taksiran kekuatan
pasukan muslim menghadapi pasukan kafir dalam pandanagan Tuhan. Namun inti dari
semua itu adalah untuk menenteramkan jiwa kaum muslimin agar tidak cepat gentar
dan patah semangat dalam menghadapi pasukan musuh yang berjumlah besar. Menurut
Sayyid Qutb, dari ayat ini dapat diambil pelajar tentang mentalitas umat islam.
Kemenangan bukanlah terletak pada banyaknya jumlah, melainkan pada
mentalitasnya. Meski berjumlah sedikit, umat islam dapat memperoleh kemenangan,
asalkan mempunyai militan yang mempunyai semangat juang yang gigih.[14][14]
2.1.
Metodologi tafsir Sayyid Qutub dalam Fi Zhilalil Qur’an
a.
Tafsir Fi Zhilalil Quran
Pada awalnya penulisan Tafsir fi Zilal
al-Qur’an. dituangkan di rublik majalah al-Muslimun edisi ke-3, Yang terbit
pada Februari 1952. Sayyid Qutb mulai menulis tafsir secara serial di
majalah itu, dimulai dari surah al-fatihah dan di teruskan dengan surah
al-Baqarah dalam episode-episode berikutnya, hal itu dilakukan atas permintaan
Sa’id Ramadan, pemimpin redaksi majalah tersebut, Sayyid Qutb menjadi penulis
sekaligus direktur dalam rubrik ini, bagi Sayyid Qutb sendiri rubrik ini
merupakan suatu wadah penampung dari gejolak ide dan dakwahnya untuk hidup di
bawah naungan al-Qur’an. Namun
kemudian penulisan rubrik ini dihentikan dengan alasan ia ingin menggantinya
dengan rubrik lain, disertai dengan janji untuk menulis tafsir secara
khusus yang akan diterbitkan pada setiap juznya.
Menurut Manna’ al-Qattann Tafsir fi
Zilal al-Qur’an merupakan karya tafsir yang sangat sempurna dalam menjelaskan
kehidupan di bawah bimbingan al-Qur’an. tafsir ini memiliki kedudukan tinggi di
kalangan intelektual Islam lantaran kekayaan kandungan pemikiran dan
gagasannya, terutama menyangkut masalah sosial kemasyarakatan, oleh karena itu
Tafsir fi Zilal al-Qur’an mutlak diperlukan oleh kaum muslim kontemporer. [15][15]
Sesuai dengan judul karya tafsirnya fi
Zilal al-Qur’an. Sayyid Qutb dalam muqaddimah tafsirnya mengatakan bahwa hidup
dalam nauangan al-Qur’an adalah suatu kenikmatan, Sebuah kenikmatan yang tidak
diketahui kecuali oleh orang yang telah merasakannya, suatu kenikmatan yang
mengangkat umur (hidup), memberkatinya dan menyucikannya. Beliau sendiri merasa
telah mengalami kenikmatan hidup di bawah naungan al-Qur’an itu yaitu sesuatu
yang belum dirasakan sebelummya, semua ini merupakan cermin pemikiran serta
perasaannya akan al-Qur’an ketika beliau merasakan hidup dibawah naungannya,
dan mampu memberikan pesan pada umat manusia bahwa kenikmatan hidup itu dapat
diperoleh dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.
Tafsir fi Zilal al-Qur’an ini bernuansa
sastra yang kental selain dari konsep-konsep dan motivasi pererakan, selain itu
berusaha membumikan al-Qur’an melalui analog-analogi yang terjadi di masyarakat
saat itu. Perjuangan dan pembebasan dari segala tirani merupakan sesuatu yang
sudah seharusnya dilakukan umat Islam.Jadi ada satu pendekatan dilakukan Sayyid
Qutb dalam Tafsirnya yakni bagaimana sastra yang merupakan unsur mukjizat
al-Qur’an mampu mempengaruhi kaum Muslimin dan memotivasinya untuk bangkit dan
berjuang.[16][16] Kemudian Kitab Tafsir Fi Zilal
al-Qur’an yang pertama diterbitkan dalam tulisan jawi ialah Juz ‘Amma dalam
empat jilid. Kitab ini telah diterbitkan pada tahun 1953. Kitab tafsir edisi
jawi ini mengguna pakai tajuk Tafsir Fi Zilal al-Qur’an “Di dalam Bayangan
al-Qur’an” oleh al-Syahid Sayyid Qutb dan telah dialih bahasa oleh Yusoff Zaky
Haji Yacob. Edisi ini telah dicetak dan diterbitkan oleh Dian Darul Naim Sdn
Bhd, kota bharu, kelantan dengan cetakan pertama pada tahun 1986.[17][17]
b.
Metode dan Sumber Penafsiran Tafsir fi Zilal al-Qur’an
Sayyid Qutb mengambil metode penafsiran dengan
Tahili/tartib mushafy. Sedangkan sumber penafsiran terdiri dari dua tahapan
yakni: mengambil sumber penafsiran bil ma’tsur, kemudian baru menafsirkan
dengan pemikiran, pendapat ataupun kutipan pendapat sebagai penjelas dari
argumentasinya.Tafsirnyaini tidak menggunakan metode tafsir tradisional, yaitu
metode yang selalu merujuk keulasan sebelumnya yang sudah diterima.Sayyid Qutb
seringkali mengemukakan tanggapan pribadi dan spontanitasnya terhadap ayat-ayat
al-Qur’an. Tafsir ini lebih menekankan kepada pendekatan iman secara
intuitif, artinya, secara langsung tanpa perlu dirasionalisasikan atau
dijelaskan dengan merujuk kepada metode filsafat. Iman itu harus diterapkan
langsung dalam tindakan sehari-hari.
Meskipun secara garis besar Tafsir beliau termasuk
bersumber pada bil ra’yi karena memuat pemikiran social masyarakat dan sastra
yang cenderung lebih banyak.Selain kedua sumber tersebut, beliau juga mengambil
referensi dari berbagai dsiplin ilmu, yakni sejarah, biografi, fiqh, bahkan
social, ekonomi, psikologi, dan filsafat.
c.
Motivasi Penulisan Tafsir Fi Zhilal al Qur’an
Kondisi Mesir tatkala itu sedang
porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu
di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang
mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli 1952. Pada saat itulah,
Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan
terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran memang jika kita
melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung
mengangkat terma sosial-kemasyarakatan. Salah satu karya terbesar beliau yang
sangat terkenal adalah karya tafsir Al-Qur`an yang diberi nama Fî Zhilâl
Al-Qur`an. Dalam tafsir ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep
negara islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut ikhwan al-muslimin
lainnya seperti halnya Abu A’la al maududi. [18][18]
Secara singkatnya, sebenarnya Sayyid
Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said
Ramadhan yang merupakan redaksi majalah al-Muslimun yang ia terbitkan di Kairo
dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik khusus mengenai
penafsiran al-Quran yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan. Sayyid Qutb
menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang
kemudian diberi nama Fî Zhilal Al-Qur`an. Adapun mengenai tulisan yang pertama
yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah lantas dilanjutkan dengan surat
al-Baqarah. Namun, hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang
kemudian Sayyid Qutb berinisiatif menghentikan kepenulisan itu dengan maksud
hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an
sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau lantas diterbitkan
oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak
langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit
dalam dua bulan sekali dan ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz
itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan.[19][19]
d.
Sitematika dan Tujuan Penulisan Tafsir fi Zilal
al-Qur’an
Sayyid Qutb mengambil metode penafsiran dengan Tahili/tartib
mushafy. Sedangkan sumber penafsiran terdiri dari dua tahapan yakni: mengambil
sumber penafsiran bil ma’tsur, kemudian baru menafsirkan dengan pemikiran, pendapat
ataupun kutipan pendapat sebagai penjelas dari argumentasinya.Tafsirnyaini tidak menggunakan metode tafsir
tradisional, yaitu metode yang selalu merujuk ke ulasan sebelumnya yang sudah
diterima.Sayyid Qutb seringkali mengemukakan tanggapan pribadi dan
spontanitasnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ini lebih menekankan kepada pendekatan iman
secara intuitif, artinya, secara langsung tanpa perlu dirasionalisasikan atau
dijelaskan dengan merujuk kepada metode filsafat. Iman itu harus diterapkan
langsung dalam tindakan sehari-hari.
Meskipun secara garis besar Tafsir beliau termasuk bersumber
pada bil ra’yi karena memuat pemikiran social masyarakat dan sastra yang
cenderung lebih banyak.Selain kedua sumber tersebut, beliau juga mengambil
referensi dari berbagai dsiplin ilmu, yakni sejarah, biografi, fiqh, bahkan
social, ekonomi, psikologi, dan filsafat.
e.
Corak Tafsir Fi Zilal al-Qur’an
Penafsiran Sayyid Quthb memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki tafsir-tafsir lain, menggunakan gaya prosa lirik dalam penyampaian, karena itu tafsir ini menjadi enak dibaca
dan mudah dipahami. Kitab tafsir ini mengandung unsur corak adaby ijtima’i yakni sastra dan social
kemasyarakatan.
Sifat lain dari tafsir ini adalah
pemaparan yang bersemangat sehingga mudah dicurigai sebagai tafsir
provokatif, bahkan tidak jarang orang menamai tafsirnya dengan corak tafsir
haraki, tafsir ini masuk dalam kategori penafsiran dengan corak baru yang khas
dan unik serta langkah baru yang jauh dalam tafsir serta memuat banyak sekali
tema penting dengan menambahkan hal-hal mendasar yang esensial. Karenanya Tafsir ini dapat dikategorikan sebagai aliran
(faham) khusus dalam Tafsir yang disebut “aliran Tafsir pergerakan”. Ini
disebabkan metode pergerakan –metode realistis serius—tidak ada selain pada Tafsir fi Zilal
al-Qur’an ini.
f.
Pandangan Ulama terhadap kitab [20][20]
1.
Dr. Hasan Farhad telah menyatakan bahawa Tafsir Fi
Zilal al-Qur’an telah menjadi begitu terkenal dengan sebab Sayyid Qutb
Rahimahullah telah menulis tafsir ini sebanyak dua kali; kali pertama ia
menulis dengan tinta seorang alim dan kali kedua dia menulis dengan darah
syuhada’.
2.
Yusof al-‘Azym mengatakan bahawa tafsir Fi Zilal
al-Qur’an adalah sebuah tafsir yang unik dan berada di kemuncak tafsir-tafsir
yang lama dan yang baru.
3.
Muhammad Qutb yaitu adik kepada Sayyid
Qutb menyatakan bahawa tafsir ini bukan tafsir dalam ertikata menghurai
pengertian lafaz-lafaz, walaupun aspek ini tidak ditinggalkan dan bukannya
menghuraikan keindahan dan kemukjizatan ungkapan-ungkapan al-Qur’an walaupun
aspek ini ada disebut, tetapi sejak mula lagi ia menitikberatkan tentang cara
keimanan itu tumbuh dalam diri.tetapi sejak mula lagi ia menitikberatkan
tentang cara keimanan itu tumbuh dalam diri.
4.
Dato’ Haji Daud bin Muhammad (Qadhi Besar Negeri
Kelantan) dan Dato’ Haji Mohd. Shukri Mohamad (Timbalan Mufti Negeri Kelantan)
turut menyatakan bahawa tafsir ini adalah lain dari yang lain.
5.
Brig. Jen
(B) Dato’ Abdul hamid bin Zainal abidin menyatakan terjemahan ini merupakan
sebuah terjemahan dinamis yaitu menterjemahkan makna yang ingin disampaikan
oleh sayyid qutub.
g. Keistimewaan
dan Kelemahan Tafsir fi Zilal al-Qur’an
Beberapa keistimewaan kitab ini adalah:[21][21]
1. Sayyid Quthb dalam menafsirkan ayat-ayat dalam suatu
surat memberikan gambaran ringkas tentang kandungan surat yang akan di kaji.
2. Pengelompokan ayat-ayat sesuai dengan pesan yang
terkandung pada ayat tersebut.
3. Memperhatikan munasabah antar ayat
4. Bercorak sastra dan mudah dipahami.
5. Menggunakan hadith-hadith sahih
6. Berusaha menghindari kisah-kisah Isra’iliyat.
7. Merefleksikan keinginan besar untuk kemajuan ummat.
8. Orsinilitas ide dan pemikiran penulis.
9. Dianggap telah menggagas sebuah pemikiran dan corak
baru dalam nuansa penafsiran Alquran.
Sedangkan beberapa kelemahannya adalah:
1. Keterbatasan referensi Sayyid Qutb kerena beliau
menyusun ini kitab ini dipenjara sehingga banyak banyak memunculkan
pendapat-pendapat pribadi yang sangat kental dengan nuansa pada saat itu.
2. Penjelasannya yang terkadang berbau radikal sehingga
dicurigai sebagai kitab tafsir provokatif.
BAB III
KESIMPULAN
a. Sayyid
Qutub hidup dalam nuansa iman ketika menulis Zhilal. Beliau hidup
bersama Al quranul Karim dengan surat-surat, ayat-ayat, dan kalimat-kalimatnya.
Dari Al quran ini beliau menimba makna-makna yang begitu banyak serta merasakan
kenikmatan hidup yang penuh berkah di bawah naungannya. Bel menjkaiau
memperoleh curahan rahmat Allah di dalam penjara serta di beri anugerah dan
pertolongan untuk bisa beradaptasi di dalamnya serta mengubah kondisi cobaan di
dalam penjara menjadi sebuah anugerah, sehingga ilmu, keimanan, dan keyakinan
beliau justru semakin bertambah, dan perkataan beliau dalam Zhilal merupakan
buah dari ilmu, anugerah dan kekayaan tersebut. Maka tidak perlu didengar
perkataan sebagian pencela dalam melancarkan tuduhan yang bukan-bukan terhadap
sayyid mengenai kejiwaan dan perasaan-perasaan beliau, ilmu dan anugerah
beliau, kesehatan pemikiran beliau, keseimbangan pandangan-pandangan beliau,
serta kebenaran hukum-hukum dan penjelasan-penjelasan beliau.
b. Tafsir Fi
Zhilal Qur’an itu tidaklah ditulis dari waktu luang, atau untuk mengisi
waktu luang, akan tetapi pengarangnya menulis Zhilal dari medan jihad.
Penulisnya ikut berkecimpung dalam perang sengit melawan kejahiliahan. Ia
mrnggunakan kitab Allah ini untuk berjihad secara besar-besaran melawan mereka.
Kemudian tafsir fi Zhilal al Qur’an dengan metode penulisannya memiliki
keunggulan tersendiri yang jarang ada dalam karya tafsir selainnya namun
sekaligus terdapat kekurangan didalamnya karena bersifat factor personal.
Selain itu tafsir fi Zhilal al Quran ini bernuansa sastra dan mudah dipahami.
bACA JUGA: https://jurnalilmiyah.blogspot.com/2020/10/metode-menghafal-al-masniari.html
DAFTAR RUJUKAN
Al-Khalidi,
Shalah Abdul Fattah. 2001. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sayid Qutub, Cetakan pertama Darul-Manarah, Jeddah : Saudi Arabia. Era
Intermedia.
Ayub, Mahmud. 1991.Al Qur’an dan
Para Penafsirnya .Jakarta: Pustaka Firdaus
Bahnasawi,
K. Salim. 2003. Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. Jakarta: Gema Insani
Press.
Hidayat, Nuim. 2005. Sayyid Quthb
Biografi dan Kejernian
Pemikirannya.
Jakarta:
Gema Insani.
Sayyid Quthb.2009. Ma’alim
Ath-Thariq.Yogyakarta: Uswah media.
www.referensimakalah.com › Tafsir
dan Penafsiran
Html.hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran.
badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-quthb
disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan 992. Pustaka Firdaus.
Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. 2001. Pengantar Memahami
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Sayid Qutub, Cetakan pertama Darul-Manarah,
Jeddah : Saudi Arabia. Era Intermedia, hlm. 389-390
Html.hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran.
badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
Hidayat, Nuim. Sayyid Quthb Biografi dan Kejernian
Pemikirannya. Hal 14
hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran.html
badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
Bahnasawi, K. Salim, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb.
Jakarta: 2003. Gema Insani Press. Hal. 15
Op. Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 19
Op. Cit, Nuim Hidayat,Hal. 27-29
Ayub, Mahmud, Qur’an dan Para Penafsirnya .Jakarta: 1992.
Pustaka Firdaus. Hal 171
Op.Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 316
badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
Op.Cit. Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Hal 297
www.al-ahkam.net/.../sayyid-qutb-dan-fi-zilālil-qur’
disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan
disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan
Op . Cit . Bahnasawi, K. Salim hal 121
disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan.
Komentar
Posting Komentar