<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-2604165452128321"
crossorigin="anonymous"></script>
Abdurrohim Harahap S.Th. I. M. Us.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tafsir Falsafi berarti Penjelasan
tentang kebenaran makna ayat Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata,
serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar
didapat satu kebenaran yang rasional.
Tafsir Falsafi sangat bertentangan
dengan Agama Islam, dan penafsiran dengan metode Falsafi ini jauh dari
pemahaman nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan
agama sebagai filsafat. Di sudut lain bagi kelompok yang mendukung Tafsir
dengan metode falsali ini berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam
tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya
wahyu Allah swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka
membuat metode sinergis, dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang
dimanifestasikan dalam bentuk pemberian takwil pada nas A1 Quran yang tertentu
dan memberikan kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Tafsir?
2. Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi?
3. Metode Penafsiran AL-Qur’an?
4. Corak-Corak Tafsir?
5. Contoh Kitab-kitab Tafsir
Falsafi?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Tafsir Falsafi
Tafsir falsafi menurut Quraisy
Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan
filsafat. Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori
filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi
sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan
filsafat. Karena ayat Al Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan
filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsîr al-Falâsifah, yakni
menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi,
seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai
justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat.
seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut
Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari
dalam.
Al Qur’an adalah sumber ajaran dan
pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral
dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Qur’an melalui penafsiran mempunyai peranan
yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di dalam
menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga
membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar
belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran
seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi dan lain-lain yang
tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman
ke zaman.
Penafsiran terhadap Al Qur’an telah
tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat
Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Qur’an serta intensitas
perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Qur’an pun terus
berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang.
Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang
berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan
tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam
menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti
memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung
membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika
begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas
kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannyamembangun
abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari
teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia
tanpa hambatan budaya dan bahasa.
Dari pemahaman tersebut tidak tidak
terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir
falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya
berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian
pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Qur’an
tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia
diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan
proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan
tersebut tidak terlalu berlebihan karena disamping memang kita belum menemukan
tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu
hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat
bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita
nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek,
terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas,
radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil
penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran
tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan
eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel
dari pada tafsir lain.
2.2
Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
Keberadaan corak tafsir ini tentu memiliki sebab dan faktor yang melatari kemunculan tafsir ini. Sudah jamak diketahui bahwa filsafat berpegang pada akal dan istidhlal (argumen). Muhammad Ali al-Ridha al-Ishfihani dalam Durus fi al-Manahij wa al-Ittijahat al-Tafsiriyah li Al-Quran menuturkan bahwa istidhlal aqli juga terdapat dalam Islam bersamaan dengan perkembangan ilmu dan sains.
Perkembangan corak tafsir ini bermula di zaman keemasan Islam yakni Dinasti Abbasiyah yang sangat kental akan nuansa Persia di dalamnya. Gerakan penerjemahan besar-besaran karya Yunani ke dalam bahasa Arab menjadi bukti untuk itu. Kemajuan Abbasiyah di bidang ilmu pengetahuan dan sains tidak terlepas dari ilmu filsafat di dalamnya. Hal tersebut juga merujuk pada Adz-Dzahabi, ia menerangkan bahwa embrio lahirnya penafsiran bercorak falsafi ditengarai dimulai pada masa Abbasiyah khususnya khalifah Al-Mansur dan Al-Ma’mun.
Jadi sederhananya adalah ada dua
alasan dalam mengkompromikan al-Qur’an dengan filsafat, yaitu:
1. Cara pertama,
mereka melakukan ta’wil terhadap nash-nash al-Qur’an sesuai dengan pandangan
filosof. Yakni mereka menundukkan nash-nash al-Qur’an pada pandangan-pandangan
filsafat. Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.
2. Cara kedua,
adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Qur’an dengan pandangan pandangan teori
filsafat. Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai bagian primer yang
mereka ikuti, dan menempatkan al-Qur’an sebagai bagian sekunder yang mengikuti
filsafat. Yakni filsafat melampaui al-Qur’an. Cara ini lebih berbahaya dari
cara yang pertama.
Contoh Tafsir Falsafi adalah seperti
dikatan al-Dzahabi menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari
kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., dengan fisik di samping ruhnya. Mereka
hanya meyakini kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., hanya dengan ruh tanpa
jasad.
Di antara kitab tafsir yang ditulis
berdasakan corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak tafsir falsafat
adalah:
1. Mafatih
Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
2. al-Isyarat,
karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
Sedangkan dari golongan kedua
seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah mendengar bahwa diantara filosof
mengarang kitab tafsir al-Qur’an secara lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih
dari sebagian pemahaman terhadat al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam
kitab falsafah yang mereka tulis.
Penulisan secara parsial tafsir
falsafi antara lain:
1. Fushush
al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
2. Rasail Ibn
Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)
3. Rasail Ikhwan
al-Safa.
2.3 Metode Penafsiran Al-Qur’an
Metode tafsir Al-Qur’an terbagi menjadi tiga
macam yaitu :
1.
Tafsir bi al-Ma’tsur
adalah tafsir yang didasarkan pada
periwayatan yaitu tafsir yang merujuk pada penafsiran AL-Qur’an dengan
AL-Qur’an, atau penafsiran AL-Qur’an dengan al-Hadits melalui penuturan
sahabat. Metode ini, merupakan dua tafsir tertinggi yang tidak dapat
dibandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan disaat turunnya wahyu.
Penafsiran merekalah yang layak untuk dijadikan sumber. Disamping itu mereka
adalah orang yang dididik oleh Rasulullah SAW, dalam berbagai aspek.
2.
Tafsir bi al-Ra’yi
adalah tafsir yang didasarkan kepada
nalar atau pengetahuan atau tafsir bi al-dirayah dan juga sering di sebut
sebagai tafsir bi al ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka
dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran meraka adalah
bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, pengetahuan entang gaya bahasa
sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh merka
yang ingin menafsirkan AL-Qur’an.
3.
Tafsir bi al-Isyari
adalah tafsir yang berdasarkan atas
isyarat (indikasi) ialah penafsiran ayat AL-Qur’an yang mengabaikan makna
dhahirnya. Disebut juga bahwa penfsiran AL-Qur’an ini berdasarkan indikasi
(isyrat) yang dapat diterima oleh sebagian orang yang sadar dan berpengetahuan
atau tampak bagi orang yang memilika akhlak terpuji dan melawan hawa nafsu
mereka.
Metode Study atas hasil karya
penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka
menggunakan metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
1. Ijmaly (global)
2. Tahlily (analistis),
3. Muqaran (perbandingan),
4. Maudhu’i (tematik).
1)
Metode Ijmali (Global)
a) Pengertian
Yang dimaksud dengan metode
al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang
populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut
susunan ayat-ayat di dalam muskhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu
jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan
masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Ketika
menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur’an dengan bantuan
sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat
ulama saleh.
b) Kelebihan
- Praktis dan mudah dipahami
oleh ummat dari berbagai strata sosial dan
lapisan masyakat.
- Bebas dari
penafsiran kemungkinan israiliah maka tafsir ijmali
relatif murni dan terbebas dari
pemikiran-pemikiran Israiliat dapat dibendung
pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat
al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
- Akrab dengan bahasa
al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang
singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.
c) Kelemahan
- Menjadikan petunjuk
al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang
utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang
utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau
samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang
lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu
pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
- Tidak ada ruangan untuk
mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode ijmali
tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika
menginginkan adanya analisis yang rinci, metode global
tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir
yang menggunakan metode ini.
d) Contoh kitab tafsir ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir dengan
metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal
al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy,
Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husanain
Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-Muyassar karangan Syaikh Abdul
al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.
e) Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir
langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan
penetapan judul. Pola serupa ini tidak jauh berbeda dengan metode alalitis,
namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode
global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan
ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir
untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir ijmali
seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi
ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang
dibaca tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga
penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
2)
Metode Tahliliy (Analisis)
a) Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy
(Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di mulai dari uraian makna
kosokata, makna kalimat, maksut stiap ungkapan, kaitan antar pemisah sampai
sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan bantuan asbab an-nuzul,
riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in.
Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat
per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan
generasi Nabi sampai tabi’in , terkadang pula diisi dengan uraian-uraian
kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk
memahami Al-Qur’an yang mulia.
b) Kelebihan
- Ruang lingkup yang luas:
Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk
luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam
dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat
dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing
mufassir.
c) Kelemahan
- Menjadikan petunjuk
al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah,tidak utuh dan
tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat
berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain
yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang
memperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya.
- Masuknya pemikiran
Israiliat sebab berbagai pemikiran mufassir dapat masuk ke
dalamnya, tidak tercuali pemikiran Israiliat
Contohnya, kitab tahlili seperti dalam penafsiran
al-Qurthubi tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam
ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.
d) Contoh kitab tafsir tahlili
Di antara kitab-kitab tafsir dengan
metode ijmali antara lain :Ma’alim al- Tanzil(karya al -Baghawi), Tafsir
Al-Qur’an al-‘Azhim (karya Ibn Katsir), Tafsir al-Khazin (karya
al-Khazin),Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (karya al -Baidhawy)
e) Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para
penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha
menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara
komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’yi,
sebagaimana dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan
surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab
al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Penafsiran yang mengikuti metode ini
dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran)
3)
Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan)
a) Pengertian
Pengertian metode muqaran
(komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
• Membandingkan teks (nash)
ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang
sama;
• Membandingkan ayat Al-Qur’an
dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
• Membandingkan berbagai
pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi metode tafsir muqaran adalah
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para
mufassir. Langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengumpulkan sejumlah ayat
Al-Qur’an
2. Mengemukakan penjelasan para
mufassir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi
al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi
3. Membandingkan kecenderungan
tafsir mereka masing-masing.
4. Menjelaskan siapa saja yang
mengemukakan tafsirannya dalam kelompok-kelompok.
Selain rumusan di atas, metode
muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu membandingkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau mmbandingkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk dengan hadits-hadits yang
makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau dengan
kajian-kajian lainnya.
b) Kelebihan
- Memberikan wawasan
penafsiran yang relatif lebih luas kepada pada
pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Di
dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin
ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
- Membuka pintu untuk selalu
bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda
dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi
fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
- Tafsir dengan metode ini
amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu
ayat,
c) Kelemahan
- Penafsiran dengan memakai
metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari
tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan
kadang-kadang ekstrim,
- Metode ini kurang
dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di
tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari
pada pemecahan masalah
d) Contoh kitab tafsir Muqaran
Adapun kitab-kitab yang menggunakan
metode Muqaran diantaranya adalah: Kitab Durrah al-Tanzil wa al-Gurrah
al-Ta‘wil karya al-Iskafi, mengkaji perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘
Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para
mufassir.
e) Ciri-ciri Metode Muqaran
Perbandingan adalah ciri utama bagi
Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara
metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan
bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah
pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu
jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut
“metode muqaran”.
4)
Metode Maudhu’iy (Tematik)
a) Pengertian
Yang dimaksud dengan metode
mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang
telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab
al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan
Hadits, maupun pemikiran rasional.
b) Kelebihan
- Menghindari problem atau
kelemahan metode lain
- Menafsirkan ayat dengan ayat atau
hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
- Kesimpulan yang dihasilkan
mudah dipahami
- Metode ini memungkinkan
seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam al-Quran, sekaligus
membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
c) Kekurangan
- Kesullitan dalam memenggal
ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang
terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang
berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu
diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang
zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan
ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan
analisis.
- Membatasi pemahaman ayat:
Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi
terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat
oleh judul itu.
d) Contoh kitab tafsir
Maudhu’i
Di antara kitab-kitab tafsir dengan
metode Maudhu’i, yaitu :Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abbas Al-Aqqad),
Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abu A’la Al-Maududi), Al-Aqidah fi
Al-Qur’an Al-Karim (karya Muhammad Abu Zahrah), Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim
(karya DR. Ibrahim mahnan), Washaya surat al-isra’ (karya DR. Abd Al-Hayy
Al-Farmawi).
e) Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Yang menjadi ciri utama metode ini
ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan sehingga tidak salah bila
di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari
tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari
Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah
dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai
dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul
Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar,
dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci
langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i.
Langkah-langkah tersebut adalah :
• Menetapkan masalah yang akan
dibahas (topik).
• Menghimpun ayat-ayat yang
berkaitan dengan masalah tersebut.
• Menyusun runtutan ayat sesuai
dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya.
• Memahami korelasi ayat-ayat
tersebut dalam surahnya masing-masing.
• Menyusun pembahasan dalam
kerangka yang sempurna (out-line).
• Melengkapi pembahasan dengan
hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
• Mempelajari ayat-ayat tersebut
secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian
yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas
(khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan,
sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau
pemaksaan.
2.4 Corak-Corak Tafsir
A. Pengertian Corak Tafsir
Dalam kamus bahasa Indonesia kata
corak mempunyai beberapa makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar
(ada yang berwarna -warna ) pada kain( tenunan, anyaman dsb), Juga bermakna
berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat( faham, macam,
bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan
sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warna. Istilah
ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut
ulasan beliau :
Tafsir adalah Ilmu untuk memahami
kitabullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan
makna-maknanya, menyimpulkan hukum –hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi, corak tafsir adalah nuansa
atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu
bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan
maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide
tertentu mendominasi sebuah karya tafsir .
B. Macam-macam Corak Tafsir
1.
CORAK LUGHAWI
Tafsir
lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan
menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Seseorang yang ingin menafsirkan
al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan
al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait
dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa
dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat
utama bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak
dalam penafsirkan al-Qur’an.
2.
CORAK ‘ILMI
Tafsri ‘Ilmi adalah menafsirkan
ayat-ayat al qur’an berdasarkan pendekatan Ilmiyah atau menggali kandungan al
qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Alasan yang melahirkan
penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah
seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari
keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan
fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran
ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi
mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”,
atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang berfikir.”.
3.
CORAK TASIR FIQH
Corak Tafsir Fiqhi adalah corak
tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan
cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar
pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir
ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam
al-Qur’an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir
ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an. Orang
yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW,
kemudian para shahabat.
4.
CORAK FALSAFI
Tafsîr al-Falâsifah, yakni
menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi,
seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai
justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi
ayat.Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa.
Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari
dalam.
Corak penafsiran ini akan
sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita
nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama
aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan
berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih
valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
5.
CORAK SHUFI
Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir
yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsîr
shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang
didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan
filsafat dan ini tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan
atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr al-Qur`an al-`Adzîm
karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan `Arâis al-Bayân fî
Haqâiq al-Qur`an karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima
(diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2)
tidak bertentangan dengan syari’at/rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks.
Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak. Corak penafsiran Sufi ini
didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung
4 tingkatan makna:Zhahir, Batin, Hadd, dan matla’.
6.
CORAK ADABI DAN IJTIMA’I
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana
disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan
ayat-ayat al Qur’an pada Aspek ketelitian redaksinya lalu menyusun kandungannya
dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an bagi
kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
7.
CORAK BALAGHI DAN BAYANI
Corak Balaghi, yaitu jika seorang
Mufassir menafsirkan Al Qur’an didasarkan pada segi Balaghohnya (Keindahan
Perkataan dan Uslub Al Qur’an). Adapun contoh corak tafsir Balaghi tedapat pada
tafsir Al Kasysyaf karya Al Zamakhsyari.
Sedangkan, Corak Bayani, yaitu
tafsir pembahasannya berkisar padaBalaghotu al Qur’an dalam bentuk Ilmu bayan
seperti Tasybih Isti’aroh, Tamsil, Washal, Fashal, dan cabang-cabangnya seperti
penggunaan Makna Denotasi (Haqiqi) dan Majazi (Metafor) dan semacamnya.
Tafsir Balaghah meliputi tiga aspek
yaitu:
1. Tafsir Ma’an al-Qur’an
yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang
disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd Rahim
Fu’dah.
2. Tafsir Bayan al-Qur’an
yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akarkata kemudian
dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir
al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
3. Tafsir badi’ al-Qur’an
yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan
gaya bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w.
654 H).
8.
CORAK HARAKI
Corak Haraki, yaitu tafsir yang
ditulis dan disusun oleh seorang tokoh pergerakan umat Islam. Dalam hal ini
seorang mufassir berusaha menjelaskan Maksud Allah dalam al Qur’an, khususnya
yang terkait dengan perubahan dan pergerakan sosial kearah yang lebih baik.
Tafsir Haraki ini tidak hanya bertujuan menafsirkan al Qur’an, tetapi juga
mengajak umat untuk memperbaiki keadaan sosial yang buruk ke arah keadaan
sosial yang lebih baik.dalam hal ini, mufassir juga mengedapankan perhatiannya
untuk mengajak masyarakat agar kembali kepada ajaran agama yang benar,
mensucikan agama dari segala bentuk Khurafat dan Isroilliyat. Contoh tafsir
Haraki adalah Tafsir Fi Zhilalil al Qur’an karya Sayyid Quthub.
2.5 Contoh Kitab-kitab Tafsir Falsafi
1. Mafatih al-Ghaib yang
dikarang al-fakhr al-Razi
2. Tafsir Al-Qur’an al-Adhim,
karangan Imam Al-Tustury.
3. Haqaiq al-Tafsir, karangan
al-Allamah Al-Sulamy.
4. ‘Arais al-Bayan fy Haqaiq
al-Qur’an, karangan Imam Al-Syiraz
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir Fasafi adalah penafsiran
berdasarkan teori-teori filsafat. Adapun factor kemunculannya (secara
konkrit) adalah adanya penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa
arab pada masa masa Dinasti Abbbasiah.
Metodoogi yang digunakan dalam
tafsir falsafi cenderung lebih mengedapankan pemikiran dengan mencari hakiki
dan menyampigkan aspek historitas dan konteksnya. Hal ini menjadi kekurangan
sekaligus kelebihan dari Tafsir Falsafi ini.
1. Metode tafsir al-Quran adalah
suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang
benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.
2. Metode-metode penafsiran
dibagi dalam empat cara (metode), yaitu :
a. Metode Ijmali (Global)
adalah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
cara mengemukakan makna global.
b. Metode Tahlil (analisis) adalah
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c. Metode Muqaran
(Komparatif/Perbandingan) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk
pada penjelasan-penjelasan para mufassir.
d. Metode Maudhu’iy (Tematik)
adalah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan.
3. Klasifikasi
dan corak tafsir antara lain:
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur
b. Tafsir bi Al-Ra’yi
c. Tafsir Ash-Shufi
d. Tafsir Al-Fiqhi
e. Tafsir Al-Falsafi
f. Tafsir Al-Ilimi
g. Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1994
2. Muhammad Husein al-Dzhabi,
At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikri, 1995)
3. Muhammad Ghazali Syeikh. Tafsir
Tematik Dalam Al-Qur’an. Gaya Media Pratama. Jakarta. 2005
4. Ushma Thameem. Metodologi Tafsir
AL-QUR’AN. Riora Cipta. Jakarta. 2000
5. Al-Majlis al-A’la li al-Syuuni
al-Islamiyah, al-Mausuah al-Qur’aniyah al-Mutakhossisah, (Kairo: Wazir
al-Auqaf, 2003),
Komentar
Posting Komentar