Pengertian Tafsir Fiqhi #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.
Abdurrohim Harahap S.Th. I. M. Us.
I.
PENDAHULUAN
Tafsir Fiqhi sering disebut dengan tafsir ahkam atau tafsir
ayatil ahkam yaitu tafsir Al Qur’an yang beraliran Fiqih atau hukum atau tafsir
yang dalam penafsirannya banyak difokuskan pada bidang hukum kadang-kadang
dalam hal ini yang ditafsirkan hanya ayat-ayat Al Qur’an yang menyangkut soal
hukum saja, sedangkan pada ayat yang lain tidak memuat hukum fiqih tidak
ditafsirkan atau tidak dimuat.[1]
Dapat
di pahami bahwa kedudukan Nabi Muhammad SAW terhadap al-Qur'an sudah jelas
beliau ditugaskan menafsiran al-Qur'an kepada para sahabatnya di samping
menyampaikan seluruh informasi kewahyuan kepada mereka.[2] Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam
salah satu firmannya:
”Dan kami turunkan kepadamu Al
Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada
mereka dan supaya
mereka memikirkan”.
Tidak
dapat di ragukan bahwa ayat tersebut di atas menunjukan adanya penjelasan
Rasulullah di satu sisi itu merupakan tafsir. Ketika para sahabat kesulitan
memahami suatu ayat mereka langsung menanyakannya kepada Nabi. Dengan demikian
sebenarnya Tafsir al- Qur'an telah tumbuh di masa Nabi SAW sendiri dan
beliaulah permulaan penafsir (Al-Mufassir Al-Awwal) bagi kitab Allah. Beliau
menerangkan maksud-maksud wahyu yang di turunkan kepadanya. Sahabat-sahabat
Rasulullah tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur'an ketika Rasul masih
hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas
menafsirkan al-Qur'an.[3]
Al-Qur'an
meliputi hukum-hukum yang berkenaan dengan kemaslahatan manusia di dunia dan di
ahirat. Kaum muslimin memahami ayat-ayat hukum sesuai dengan bahasa arab
yang mereka fahami. Jika menghadapi kesulitan, mereka dengan mudah menanyakan
dan mengkompromikan penafsiran yang benar kepada Rasulullah SAW.
Penafsiran
al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dirasakan sangat perlu ketika terjadi
kasus-kasus hukum yang sebelumnya tidak pernah ada di zaman Rasul. Maka segera
diperlukan istinbath hukum dari al-Qur'an, jika tidak ada penjelasan hukumnya
dalam al-Qur'an maka segera dicari penjelasanya dalam hadis. Jika dalam hadis
pun tidak ada ada penjelasan hukumnya, segera dilakukan ijtihad. Para sahabat
tidak selamanya sepakat atas hasil istinbath hukum dikalangan mereka, mereka
pun kadang-kadang berbeda pendapat, walaupun dalam kasus yang sama. Keadaan
seperti ini terus berlanjut hingga lahirnya mazhab-mazhab hukum. Pada masa ini
banyak kasus-kasus hukum yang timbul dan tidak pernah di jumpai sebelumnya.
maka lahirlah tafsir yang di tulis oleh masing –masing
madzhab hukum .
Ketika
tiba masa empat imam Fiqih dan setiap imam membuat dasar-dasar istinbath hukum
masing-masing dalam mazhabnya serta berbagai peristiwa semakin banyak dan
persoalan pun menjadi bercabang-cabang, maka semakin bertambah pula aspek aspek
perbedan pendapat dalam memahami ayat, hal ini di sebabkan perbedaan dari segi
dalalahnya, bukan karena fanatisme suatu mazhab melainkan karena setiap ahli
Fiqih berpegang kepada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak
memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain untuk
merujuk kepadanya.[4]
Di
dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing imam mazhab tersebut mempunyai
banyak pengikut. Sebagian dari mereka ini ada yang sangat fanatik, yang menatap
ayat-ayat dengan kacamata mazhab semata, lalu menafsirkan ayat-ayat tersebut
sesuai dengan pandangan mazhab. Namun, sebagian dari mereka itu ada pula yang
obyektif, yang melihat ayat dengan kacamata yang bebas dari tendensi dan
kepentingan mazhab, mereka menafsirkan ayat-ayat seperti apa adanya sesuai
dengan kesan nalar mereka.[5]
II.
A.
Karya-karya
tafsir fiqh
1.
Ahkamul Qur’an oleh Al-Jassas
(terbit),
2.
Ahkamul Qur’an oleh Al-Kaya
Al-Haras (manuskrip),
3.
Ahamul Qur’an Ibnul
‘Arabi (terbit),
4.
Al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an, oleh Al-Qurtubi (terbit),
5.
Al-Iklil fi
Istinbatit Tanzil, oleh As-Suyuti (manuskrip),
6.
At-Tafsiratul
Ahmadiyah
fi Bayanil Ayatisi Syar’iyah oleh Mula Geon (terbit di India),
7.
Tafsiru Ayatil
Ahkam, oleh
Syaikh Muhammad As-Sayis (terbit),
8.
Tafsiru Ayatil
Ahkam, oleh
Syaikh Manna’ al-Qattan (terbit), dan
9. Adwa’ul Bayan, oleh Syaikh
Muhammad Asy-Syinqiti (terbit).
Berikut ini
akan dipaparkan beberapa tokoh mufassir yang menggunakan corak tafsir fiqhi
beserta sedikit ulasan mengenai karya tafsirnya.
a.
Ahkamul Qur’an, oleh
Al-Jassas.
Nama aslinya
adalah Abu Bakar Ahmad bin Ali ar-Razi, yang terkenal dengan panggilan
Al-Jassas (tukang plester). Dinisbahkan pada pekerjaan al-jass (memlester). Ia
adalah seorang imam fikih Hanafi pada abad keempat Hijriyah. Dan kitabnya
Ahkamul Qur’an dipandang sebagai kitab tafsir fikqhi terpenting, terutama bagi
pengikut mazhab hanafi.[6]
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan urusan
fikih beliau tentunya berpegang pada pendapat dari imam Hanafi.
Dalam kitab
tafsirnya beliau membatasi diri hanya membahas masalah-masalah furu’ (cabang).
Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an beliau memaparkan satu atau beberapa ayat,
kemudian menjelaskan maknanya dengan atsar dan memaparkan masalah fikih yang
berhubungan, baik hubungan itu dekat maupun jauh, serta mengemukakan berbagai
perbedaan pendapat antar mazhab. Sehingga membaca kitab ini seolah-olah kita
sedang membaca kitab fikih bukan kitab tafsir.
Dalam tafsirnya
nampak jelas bahwa al-Jassas menganut paham mu’tazilah. Misalnya ia mengatakan mengenai
firman Allah, ia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (al-An’am [6]:103);
makna ayat ini ialah: Ia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata. Ini
merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan
peniadaan penglihatan mata, seperti firman-Nya: ...tidak mengantuk dan tidak
tidur... (al-Baqarah [2]:255). Apa yang ditiadakan Allah untuk memuji diri-Nya
maka penetapan kebalikannya adalah celaan dan penghinaan, karena itu tidak
diperkenankan menetapkan kebalikan tersebut, oleh karena itu memuji-Nya dengan
peniadaan dari-Nya penglihatan mata, maka menetapkan kebalikannya tidak
diperkenankan karena hal demikian berarti menetapkan sifat aib dan kurang
(bagi-Nya).
Kitab al-Jassas
telah diterbitkan dalam 3 jilid dan beredar luas di kalangan ahli ilmu karena
ia merupakan rujukan fikih Hanafi.[7]
Maka tidak diragukan lagi setiap orang yang merujuk pada fikih Hanafi mesti
telah membaca karya beliau yang cukup penting ini.
b.
Ahkamul Qur’an,
oleh Ibn
‘Arabi.
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad
bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’afiri al-Andalusi al-Isybili adalah salah seorang
ulama Andalusia yang luas ilmunya bermazhab Maliki. Kitabnya Ahkamul Qur’an
merupakan rujukan terpenting bagi tafsir fikih kalangan pengikut Maliki.[8]
Didalam tafsirnya Ibnu ‘Arabi adalah seorang
adil dan moderat, tidak terlalu fanatik kepada mazhab dan tidak kasar dalam
menyanggah pendapat lawan-lawannya sebgaimana dilakukan al-Jassas, meskipun
demikian ia tidak memperhatikan setiap kesalahan ilmiah yang keluar dari
mujtahid maliki.
Ia menyebutkan berbagai pendapat ulama dalam
menafsirkan ayat dengan membatasi pada ayat-ayat hukum, dan menjelaskan
berbagai kemungkinan makna ayat bagi mazhab lain serta memisahkan setiap ponit
permasalahan dalam menafsirkan ayat dengan judul tertentu.[9]
Berbeda dengan al-Jassas yang cenderung
mengkritik mazhab lain dengan keras, Ibn ‘Arabi cenderung lebih sopan dalam
mengkritik pendapat dari mazhab lain yang tidak sependapat dengannya. Karena
yang dibahas adalah masalah furu’ maka keaneka ragaman pendapat tidak bisa dihindarkan.
Sebagai contoh penafsiran beliau adalah sebagai
berikut:
“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu....” (Al-Maidah
[5]:6)
Ibn ‘Arabi berkata: Masalah kesebelas
adalah firman-Nya “faghsilu” (basuhlah). Asy-Syafi’i mengira, yaitu menurut
sahabatnya Ma’d bin ‘Adnan didalam al-Fasahah, apalagi Abu Hanifah dan lainnya,
bahwa membasuh adalah menuangkan air pada sesuatu yang dibasuh tanpa
menggosok-gosok. Kami telah menjelaskan rusaknya pendapat ini dalam
masalah-masalah khilafiyah dan di dalam tafsir surat an-Nisa. Kami telah
menyatakan bahwa “membasuh” adalah menyentuhkan tangan atau benda (anggota
badan) lain sebagai penggantinya dengan mengalirkan air.[10]
Ibn ‘Arabi berpegang pada bahasa dalam
mengistinbathkan hukum dalam kitab tafsirnya. Ia juga meninggalkan
cerita-cerita isra’iliyat dan mengkritik hadis-hadis dha’if serta berhati-hati
dengannya.
Kitab tafsir milik Ibn ‘Arabi ini telah
diterbitkan beberapa kali. Diantaranya ada yang dicetak dalam dua jilid besar
dan ada pula yang dicetak empat jilid. Kitab itu telah beredar luas di kalangan
para ulama.[11]
c.
Al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an, oleh Abu Abdullah Al-Qurtubi.
Adalah
Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji
Al-Andalusi seorang ulama ternama di kalangan Maliki. Karyanya cukup banyak dan
paling mashur adalah kitab tafsirnya:Al-Jami’li Ahkam Al-Qur’an
Di
dalam tafsirnya ini Al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada ayat-ayat hukum
saja., tetapi konprehensif. Metodologi tafsirnya adalah; menyebutkan asbabun
nuzul (sebab-sebab turunya ayat), mengemukakan ragam Qira’at dan
I’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib (asing), melacak dan
menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus
bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip
dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum.Misalnya,
ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari. Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya
Harrasiy dan Abu baker Al-Jasshash.
Al-Qurtubi
sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah
khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak
fanatik madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri kamu..........,”(Al-Baqarah:187)
Dalam
masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah
mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan
siang hari dibulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat Imam Malik, ynag
mengatakan batal dan wajib mengqadha ; Ia mengatakan, “Menurut pendapat
selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa
akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau
minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadha’nya. Dan puasanya tetap
sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, katanya, Rasulullah
bersabda, “jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa,
maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak
wajib mengqadha’nya,”
Dari
kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang dikemukakannya itu Al-Qurtubi
tidak lagi sejalan dengan madzhabnya sendiri, ia berlaku adil terhadap madzhab
lain.
Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain.
misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para
filosof dan kaum sufi ynag ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus.
Dan di dorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang
di serang oleh ibn ‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar
dan keras terhadap ulama. Dan jika perlu mengkritik, maka kritikannya pun
bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat.
Kitab Al-Jami’Li Ahkam Al-Qur’an ini pernah hilang dari perpustakaan,
hingga akhirnya Dar Al-Kutub Al-Mishiriyah mecetaknya kembali. Kini bagi para
pembaca mudah untuk memperolehnya.
B. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhi
1. Kelebihan Tafsir Fiqhi
Meskipun
peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-Qur’an
lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini
memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :
a. Memberikan
kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam
al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya
al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan
metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-aspek
syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan
semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi
bagian dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur
tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
b. Upaya
untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia
dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam
al-Qur’an setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhab dogmatis serius yang
bersifat teoritis.
c. Tafsir
al-Qur’an dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya
perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih
pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan
baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri’
al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa
wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri’ ats-Tsany
ba’da Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan
manusia baik di dunia maupun di akhirat.
d. Tafsir
fiqhi berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ayat-ayat qauliyah
kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi
terhadap permasalahan kehidupan manusia.
e. Tafsir
fiqhi kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual
muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini, maka
umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan
perundang-undangan yang sesungguhnya.
2. Kelemahan
Tafsir Fiqhi
Hasil
olah pikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk
kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa
manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga
adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang meskipun landasan penafsirannya adalah
untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak namun
dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara
kelemahan penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan fiqhi adalah :
1.
Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada
fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran
terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap
ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
2.
Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada
satu aspek tertentu dari al-Qur’an (penafsiran parsial) padahal al-Qur’an
meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek yang
membutuhkan pemahaman dan penafsiran secara universal.
3.
Tafsir fiqhi lebih mengedepankan
penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan
cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam
al-Qur’an (rahmatan li al-’alamin). Sebab tidak semua bentuk
permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa
sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an
yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang
bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada
perbedaan teoritis mazhaby.[12]
III.
PENUTUP
Adanya corak tafsir fiqhi ini menambah kekayaan
khazanah tafsir yang dimiliki oleh umat Islam. Semakin banyaknya umat Islam
yang berusaha untuk menafsirkan al-Qur’an dengan berbagai metode dan coraknya
hal itu membuktikan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman umat
Islam dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian maka semakin bertambah
yakinlah kita terhadap kitab yang ditegaskan oleh Allah bahwa tidak ada
keraguan padanya (al-Qur’an).
Daftar Pustaka
Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok
dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993
Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa
Mashalih al-Ummah, diterjemahkan
oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode
Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet.
I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Literatur AntarNusa, 2009. Hlm. 517-518.
Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an
II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997.
Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur'an, Pustaka
Setia, Cet I, Bandung, 2001.
[1] Drs.H.Ahmad
Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka
Setia.Bandung:1997.
[2] Rosihan Anwar,
" Samudera Al-Qur'an ", Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2001
[3] Hasby Ash
Shiddieqy, "Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan
Al-Qur'an ",Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993.
[4] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Literatur AntarNusa, 2009. Hlm. 517
[5] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, .............
Hlm. 517
[6] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, .............
Hlm. 517-518.
[7] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an.........., hlm. 519
[8] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an.........., hlm. 519
[9] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an.........., hlm. 519
[10] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an.........., hlm. 519-520.
[11] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an.........., hlm. 520
[12] Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)
- See more at:
http://putralalamping.blogspot.my/2013/05/tafsir-fiqhi.html#sthash.elgfzYrS.dpuf
Komentar
Posting Komentar