Pengertian Tafsir Lughawi #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.

                                                     

 Abdurrohim Harahap S.Th. I. M. Us. 



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an al-karim merupakan hidangan ilahi yang berfungsi sebagai hudan dalam memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita yang dapat menerangi berbagai persoalan hidup. Bahasanya yang demikian mempesona, redaksi dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung telah meluluhkan kalbu masyarakat yang ditemuinya dan membuat mereka berdecak kagum. Namun dewasa ini, penulis melihat masyarakat hanya berhenti dalam pesona bacaan seakan-akan kitab suci diturunkan hanya untuk dibaca.
Sebagai intelektual muslim, ulama berkewajiban memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan yang tersimpan di balik setiap untaian mutiara kata dan menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampikan nilai-nilai tersebut, ulama menempuh beberapa metode, baik metode penyajian maupun metode pembahasan. Di samping itu, metode pendekatan juga diperlukan. Salah satu metode pendekatan yang sangat signifikan dalam memahami al-Qur’an adalah pendekatan linguistik atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir lughawi.
Tafsir lughawi sangat diperlukan dalam memahami al-Qur’an di samping karena al-Qur’an menggunakan bahasa arab yang penuh dengan sastra, balaghah, fashahah, bayan, tamsil dan retorika, al-Qur’an juga diturunkan pada masa kejayaan syair dan linguistik. Bahkan  pada awal Islam, sebagian orang masuk Islam hanya karena kekaguman linguistik dan kefasihan al-Qur’an.[1]
Kandungan dan cakupan bahasa arab yang amat luas tentu akan menimbulkan keragaman tafsir lughawi, mulai dari metode penyajian, pembahasan hingga jenis-jenisnya. Keragaman tersebut tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan setiap mufassir dalam mengkaji dan menyajikan al-Qur’an kepada audiensnya. Disamping itu, kapasitas intelektual seorang mufassir juga sangat berperan dalam menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan linguistik.
Namun sebagai karya manusia, tafsir lughawi juga tidak akan jauh dari penilaian-penilaian negatif, akan tetapi penilaian tersebut tidak serta merta membawa seseorang untuk tidak mempelajari dan mengkajinya, karena dibalik setiap keterbatasan akan muncul beberapa keistimewaan dan keunggulan yang terkadang tidak dimiliki oleh yang lain.
  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, dapat dibuat beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa pengertian tafsir lughawi dan bagaimana sejarah perkembangannya?
  2. Apa saja jenis-jenis tafsir lughawi dan metode apa saja yang digunakan?
  3. Sejauh mana pengaruh tafsir lughawi dan apa saja keistimewaan dan limitasinya?
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Tafsir Lughawi dan Sejarah Perkembangannya
Al-Qur’an dengan bahasa arabnya yang indah dan kandungan setiap katanya yang luas dan universal, menuntut untuk dikaji dan ditelaah melalui pendekatan linguistik. Namun sebelum mengkaji lebih jauh tentang tafsir lughawi, penulis akan memaparkan terlebih dahulu apa sebenarnya tafsir lughawi itu dan bagaimana sejarah perkembangannya.
  1. Pengertian Tafsir Lughawi
Tafsir lughawi terdiri dua kata yaitu tafsir dan lughawi. Tafsir yang akar katanya berasal dariفسر bermakna keterangan atau penjelasan.[2] Kemudian lafal tersebut diikutkan wazan فعل yang berarti menjelaskan atau menampakkan sesuatu. Dengan demikian, tafsir[3] adalah membuka dan menjelaskan pemahaman kata-kata dalam al-Qur’an. Sedangkan lughawi berasal dari akar kata لغي yang berarti gemar atau menetapi sesuatu.[4] Manusia yang gemar dan menetapi atau menekuni kata-kata yang digunakannya, maka kata-kata itu disebut lughah. Dengan demikian, yang dimaksud dengan lughawi adalah kata-kata yang digunakan, baik secara lisan maupun tulisan.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. atau lebih simpelnya tafsir lughawi adalah menjelaskan al-Qur’an al-karim melalui interpretasi semiotik dan  semantik yang meliputi etimologis, morfologis, leksikal, gramatikal dan retorikal.[5]
Oleh karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui bahasa al-Qur’an, seorang mufassir akan mudah untuk melacak dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an sehingga akan mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir.[6] Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.

  1. Sejarah Perkembangan Tafsir Lughawi

pada masa sahabat sudah ada mufassir yang mencoba mengkaji dari segi bahasa/lughawi. Sahabat yang banyak ditanya tentang makna dan sinonim kalimat al-Qur’an dan paling banyak menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan bahasa atau syair-syair Arab klasik adalah Abdullah bin Abbas. Oleh karena itu, beliau dianggap sebagai Abu al-Tafsir (bapak tafsir)[3].

Penafsiran Abdullah bin Abbas yang cenderung menjadikan syair sebagai salah satu sumber penafsirannya yang merupakan cikal bikal munculnya madrasah lughah. Hal itu terjadi ketika menjadi pengajar dan pembimbing di madrasah tafsir di Mekah, yaitu pada abad pertama hijriah dan kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Sa’id bin Jabir, Mujahid bin Jabar, Ikrimah, Thawus bin Kaisan dan Atha’ bin Abi Rabah hingga abad kedua hijriah.[4]

Syeikh Hasan Husain dalam pendapatnya tentang sejarah ilmu tafsir mengatakan bahwa para sahabat dan tabi ‘in tidak menaruh perhatian kepada ilmu tafsir, I’rab dan majaz pada masa permulaan pembukuan tafsir, bahkan, metode yang mereka gunakan sama dengan metode ahli hadis dalam meriwayatkan makna-makna Al-Qur’an.Kemudian kondisi yang demikian itu berubah pada masa berikutnya disebabkan semakin bertambah meluasnya interaksi bangsa Arab dan non Arab dan hilangnya zouq Araby.Maka para mufassir merasa sangat memerlukan ilmu-ilmu tentang bahasa Arab yang telah dibukukan, yaitu nahwu, sharaf, ma’any, bayan badi’, dan lain-lain untuk menggambarkan makna-makna dan menjelaskan maksud-maksud Al-Qur’an yang mulia, sehingga sampailah pada kondisi sebagaimana sekarang[5]
  1. Jenis-jenis Tafsir Lughawi dan Metode yang digunakan
Sebelum menjelaskan jenis-jenis dan metode tafsir lughawi, perlu diketahui bahwa tafsir lughawi dengan berbagai macam penyajian dan pembahasannya tidak akan keluar dari dua kelompok besar yaitu:
–       Tafsir lughawi yang murni atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll.
–       Tafsir lughawi yang pembahasannya campur-baur dengan pembahasan lain seperti hukum, theology dan sejenisnya, seperti Tafsir al-Thabary li Ibn Jarir al-Thabary, Mafatih al-Ghaib li al-Fakhruddin al-Razy, dan sebagian besar tafsir dari awal hingga sekarang, termasuk Tafsir al-Mishbah yang disusun oleh Quraish Shihab.
  1. Jenis-jenis Tafsir Lughawi
Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki beberapa macam bentuk dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu, munasabah dan balaghah saja dan ada pula yang membahas linguistik dengan mengkalaborasikan bersama corak-corak yang lain.
Untuk lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan dijelaskan sebagai berikut:
  1. a. Tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal al-Qur’an, seperti kitab al-Tibyan fi I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
  2. b. Tafsir Sharaf atau morpologi (semiotik,[15] dan semantik[16]) yaitu tafsir lughawi yang pokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata seperti Tafsir al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr dalam al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu.
  3. Tafsir Munasabah yaitu tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek korelasi antarayat atau surah, seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab, dll.
  4. Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos perumpamaan-perumpamaan dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab al-Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdullah Muhammad bin Ali al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi (w. 450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H)
  5. Tafsir Balaghah yang meliputi tiga aspek yaitu:
–        Tafsir Ma’an al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah.
–        Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akar kata kemudian dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
–        Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H)
  1. Tafsir qir’ah yaitu tafsir yang membahas macam-macam qira’ah seperti kitab Tahbir al-Taisir fi Qir’aat al-Aimmah al-‘Asyrah karya Muhammad bin Muhammad al-Jazry (w. 843 H).
  2. Tafsir klasifikasi bahasa yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang murni bahasa arab dan yang tidak seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi al-Qur’an min al-Mu’arrab karya Jalaluddin al-Suyuthi.
  3. Dan tafsir-tafsir lughawi yang lain semisal tafsir Fawatih al-Hijaiyyah dll.
    1. Metode Tafsir Lughawi
Metode yang digunakan tafsir lughawi tidak jauh beda dengan metode tafsir-tafsir yang lain. Di samping menggunakan metode penyajian atau penulisan, juga menggunakan metode pembahasan.[17] Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan sebagai berikut:
  1. Metode penyajian/penulisan
Metode penyajian atau penulisan dalam tafsir lughawi dengan berbagai jenisnya, secara garis besarnya akan bertumpu pada dua metode yaitu:
1)      Metode tahlily (analisis).
Metode tahlily merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh tafsir-tafsir klasik dan sebagian tafsir kontemporer seperti Tafsir al-Jalalain karya al-Mahally dan al-Suyuthi, al-Kasyyaf karya al-Zamakhsyari (w. 538 H/ 1143 M), Tafsir al-Mishbah karya Qurish Shihab.
2)      Metode maudhu’i (tematik)
Tafsir lughawi yang menggunakan metode tematik, biasanya tafsir yang muncul dibelakangan yang mencoba membahas aspek-aspek tertentu saja semisal salah satu aspek balaghah (ma’any, bayan dan badi’), amtsal dan surah-surah tertentu seperti Tafsir al-Bayan al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’ dan tafsir-tafsir yang telah dijelaskan dalam jenis tafsir balaghah.
3)        Metode Muqaran
Tafsir lughawi yang menggunakan metode muqaran (komparatif) adalah tafsir yang biasanya ingin mengungkapkan segi-segi keindahan sistematika atau gaya bahasa al-Qur’an. Metode ini erat kaitannya dengan tafsir maudhu’i dimana seorang mufassir mengumpulkan ayat-ayat yang sama redaksinya atau berlawanan.
  1. Metode Pembahasan
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh al-Farmawi[18] bahwa metodologi penafsiran al-Qur’an akan mengacu pada empat metodolodi yaitu al-ijmaly, al-tahlily, al-muqaran dan al-maudhu’i. Dalam metode pembahasan ini, penulis juga cenderung menggunakan empat metodologi tersebut dengan melihat kitab-kitab tafsir yang menggunakan pendekatan bahasa.
1)      Metode Tahlily
Tafsir lughawi yang membahas dan mengkaji secara mendalam aspek bahasa, akan menggunakan metode tahlily seperti tafsir al-Kassyaf karya al-Zamakhsyari (w. 538 H/ 1143 M).
2)      Metode Ijmaly
Metode ijmaly dalam tafsir lughawi lebih banyak digunakan oleh tafsir yang tidak pokus menganalisa teks al-Qur’an, akan tetapi hanya dijadikan sebagai alat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an seperti tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn ‘Asyur, Tafsir Ibn Katsir karya ‘Imaduddin Ibn Katsir al-Qurasyi (Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-mahally. Dll.
3)      Metode Muqarin
Metode muqaran adalah metode yang paling jarang dijumpai dalam tafsir-tafsir lughawi, padahal di satu sisi, hal ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui hadaf (tujuan) dan penekanan setiap ayat atau surah. Di antara tafsir yang muncul dengan metode ini antara lain; Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an karya al-Karmani (w. 505 H), Tafsir al-manar karya Muhammad Abduh (w. 1905 M) dan Rasyid Ridha (1935 M).[19]
4)      Metode Maudhu’i
Sedangkan metode tematik dengan pendekatan bahasa banyak dijumpai pada tafsir-tafsir mutaakhir atau kontemporer yang mencoba menganalisa satu topik pembahasan melalui pendekatan bahasa seperti al-Insan fi al-Qur’an, al-Mar’ah fi al-Qur’an al-Karim, keduanya karya Abbas Mahmud al-Aqqad, Konsep Kufr dalam al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu dll.   

Peran dan Pengaruh Tafsir Lughawi

Analisis Penafsiran dan pemikiran terhadap al-Qur’an tidak akan bisa dilakukan tanpa bahasa karena bahasalah yang mengantarkan dan menghubungkan antara kandungan makna lafal dengan lafal yang lain. Tanpa bahasa, analisis pemikiran tidak akan berarti apa-apa.[20] Oleh karena itu, peran dan pengaruh dari tafsr lughawi tentu akan mencakup sekian banyak aspek atau corak penafsiran. Di antaranya:
  1. Aspek hukum (fiqh) seperti ketika menafsirkan kalimat وأرجلكم dalam masalah wudhu’ surah al-Maidah ayat 6, jika dibaca manshub (harkat fathah) maka yang wajib dilakukan pada kaki ketika berwudhu’ adalah membasuh bukan mengusap, tetapi jika majrur (harkat kasrah) maka yang wajib hanya mengusap.[21] Dan masih banyak contoh-contoh yang lain.
  2. Aspek theology seperti pada saat menafsirkan إياك نعبد وإياك نستعين dengan didahulukannya lafalإياك dari lafal نعبد, berarti dalam beribadah tidak boleh terjadi kesyirikan karena lafal tersebut bermakna hashar (terbatas, khusus).
  3. Aspek filsafat misalnya ketika menafsirkan lafal شياطين الجن dalam surah al-An’am ayat 112 dengan melakukan pendekatan makna akar kata dari kata شطن (jauh) dan جنن (yang tersembunyi) maka sekelompok filosof menafsirkan lafal tersebut dengan “Nafsu yang jauh berpisah lagi jelek yang berlindung dari panca indra”.[22]
  4. Aspek sufistik semisal ketika Ibnu Araby mengatakan bahwa lafal عند ربه menjadi zharaf dari lafal ومن يعظم dalam surah al-Hajj ayat 30, sehingga maksud ayat ini bisa mengarah kepada ajaran tasawwuf yaitu “Barang siapa yang mengagungkan kemulyaan Allah di sisi Tuhannya pada suatu tempat, maka hendaklah dia cari pada tempat yang lain yang ada di sisi Tuhanmu.[23]
  5. Aspek ilmy (saintifik) yaitu ketika menafsirkan lafal سلطان dalam surah al-Rahman ayat 33, sebagian pakar mengatakan bahwa seseorang mampu mencapai luar angkasa dengan سلطان.[24] Begitu juga saat menafsirkan surah al-Furqan ayat 53 yang menunjukkan adanya pemisah antara air tawar dan asin melalui pendekatan bahasa.[25] Dan aspek-aspek lain yang belum sempet penulis telaah lebih jau

  1.   Ke

Kelebihan dan Limitasi Tafsir Lughawi


Tafsir al-Qur’an melalui pendeketan bahasa tentu tidak akan lepas dari nilai positif atau negatif. Di antara nilai positifnya adalah:
  1. Mengukuhkan signifikansi linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-Qur’an  karena al-Qur’an merupakan bahasa yang penuh dengan makna.
  2. Menyajikan kecermatan redaksi teks dan mengetahui makna berbagai ekspresi teks sehingga tidak terjebak dalam kekakuan berekspresi pendapat.
  3. Memberikan gambaran tentang bahasa arab, baik dari aspek penyusunannya,  indikasi huruf, berbagai kata benda dan kata kerja dan semua hal yang terkait dengan linguistik.
  4. Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat al-Qur’an sehingga membatasinya dari terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.[26]
  5. Mengetahui makna-makna sulit dengan pengatahuan uslub (gaya) bahasa arab.
  6. Melestarikan keselamatan, kehidupan dan kontinuitas bahasa arab dalam sejarah, melestarikan bahasa al-Qur’an dengan bahasa arab yang jelas, bukan dengan bahasa pasaran.
  7. Mengungkap berbagai konsep seperti etika, seni dan imajinasi al-Qur’an sehingga akan melahirkan dimensi psikologis dan signifikansi interaksi dalam jiwa.[27]
Namun demikian, sebagai salah satu metode penafsiran yang bersifat ijtihadi, tafsir lughawi juga memiliki beberapa nilai negatif, antara lain:
  1. Terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele sehingga terkadang melupakan makna dan tujuan utama al-Qur’an.[28]
  2. Mengabaikan realitas sosial dan asbab al-Nuzul serta nasikh mansukh sehingga akan mengantarkan kepada kehampaan ruang dan waktu yang akibatnya pengabaian ayat Makkiyah dan Madaniyah
  3. Menjadikan bahasa sebagai objek dan tujuan dengan melupakan manusia sebagai objeknya.
  4. Peniruan lafzhiah (kata), otoritas historis yang berseberangan dan keragaman pendapat pakar bahasa arab akan menguras pikiran sehingga melupakan tujuan utama tafsir yaitu pemahaman al-Quran.[29]

Tafsir Lughawi yang Menyimpang

Selain memerhatikan aspek kebahasaan, mufassir juga harus memerhatikan kaidah-kaidah tafsir lainnya, termasuk konteks dan makna ayat. Mufassir yang hanya berpatok pada aspek kebahasaan akan menghasilkan penafsiran yang berkemungkinan besar mengalami penyimpangan. Ini seperti kemungkinan yang dapat terjadi pada penafsiran Q.S Al-Anbiya: 79 berikut:

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ ۚ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَاعِلِينَ

Artinya: Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.

Lafaz الطَّيْرَ dari segi bahasa yaitu segala sesuatu yang mempunyai sayap. Jika dalam menafsirkan lafaz ini sang mufassir hanya berdasarkan pada aspek kebahasaan dan memasukkan unsur-unsur modernitas dan scientific, maka lafaz tersebut bisa dimaknai dengan pesawat tempur. Padahal makna sesungguhnya dari lafaz “ath-thayr” tersebut adalah burung-burung. Akan sangat berbahaya apabila mufassirnya tidak memerhatikan konteks dan makna dari ayat yang ditafsirkannya atau hanya memerhatikan aspek bahasanya saja.

Contoh lain dari tafsir bercorak lughawi yang menyimpang dapat dilihat pada dua penafsiran berikut:

  1. QS At-Tin ayat 1-4.

وَٱلتِّينِ وَٱلزَّيْتُون

Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun

وَطُورِ سِينِينَ

Dan demi bukit Sinai

وَهَٰذَا ٱلْبَلَدِ ٱلْأَمِينِ

Dan demi kota (Mekah) yang aman ini

Oleh sebagian kalangan Syiah, ayat pertama ditafsirkan dengan Hasan dan Husain, ayat kedua ditafsirkan dengan Ali bin Abi Thalib, sedangkan ayat ketiga ditafsirkan dengan Nabi Muhammad saw (Muhammad Abdul Khaliq Hasan: 2013).

  1. Al- Isra ayat 71

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ ۖ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَٰئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا

Artinya: (Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

Imam al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, Al-Kasysyaf mengatakan, termasuk penyimpangan paling besar bahwa kata imam (إِمَام) di ayat ini dianggap sebagai bentuk jamak dari اُمّ (um) yang berarti ibu. Jadi, menurut pandangan ini, pada hari kiamat orang akan dipanggil dengan disertai nama ibunya, bukan dengan nama ayahnya. Ini dimaksudkan untuk menjaga perasaan Nabi Isa serta memperlihatkan kemuliaaan Hasan dan Husein. Dengan cara ini pula, anak-anak dari hasil zina tidak akan merasa dipermalukan.

Muhammad Husein Adz-Dhahabi dalam bukunya al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an al-KarimDawafi’uha wa Daf’uha mencantumkan bahwasanya ketidaktepatan dalam penafsiran tersebut disebabkan karena ketidaktahuan mufassirnya tentang bahasa Arab. Bentuk Jamak dari lafaz “Ummun” adalah “Ummahat”, bukan “imamun” seperti yang terdapat dalam penafsiran QS. Al-Isra ayat 71 tersebut.

Penutup

Alhasil, tafsir lughawi atau tafsir yang bercorak kebahasaan tidaklah terlarang, sebagaimana banyak karya-karya tafsir yang bercorak demikian. Akan tetapi mufassir hendaknya juga memerhatikan aspek-aspek penting lainnya dari kaidah tafsir seperti konteks turunnya ayat (asbab al-nuzul). Ini menunjukkan bahwa dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran tidak cukup hanya dengan kecakapan bahasa Arab, melainkan ada banyak piranti-piranti penafsiran yang harus dikuasai terlebih dahulu.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan beberapa point penting tentang tafsir lughawi, antara lain sebagai berikut:
  1. Tafsir lughawi adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an melalui interpretasi semiotik, semantik dan semua hal yang terkait dengan linguistik. Keberadaan tafsir lughawi sudah ada sejak masa Rasulullah, sahabat, khususnya Abdullah bin Abbas, tabi’in dan terus berlanjut dari generasi ke generasi hingga sekarang.
  2. Jenis-jenis tafsir lughawi antara lain tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an, sharaf atau morpologi, munasabah, al-amtsal (alegori), balaghah (ma’any, bayan dan badi’), qir’ah, klasifikasi bahasa, dll. Sedangkan metode yang digunakan dalam penyajiannya hanya terpokus pada dua metode yaitu tahlily dan maudhu’i. Untuk pembahasannya, tafsir lughawi menggunakan empat metodologi yaitu tahlily, ijmaly, muqaran dan maudhu’i.
  3. Peran dan pengaruh tafsir lughawi meliputi berbagai aspek, antara lain aspek hukum (fiqh), theology, filsafat, sufistik dan ilmy (saintifik). Disamping itu, tafsir lughawi memiliki beberapa keistimewaan di antaranya linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-Qur’an, mengungkap berbagai konsep seperti etika, seni dan imajinasi al-Qur’an, dll. Akan tetapi tafsir lughawi juga tidak lepas dari limitasi antara lain terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele, mengabaikan realitas sosial dan asbab al-nuzul serta nasikh-mansukh, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ja’far, Musa’id Muslim. Atsar al-Tathawwur al-Fikriy fi al-Tafsir. Bairut: Muassasah al-Risalah, 1984.
al-Dzahaby, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Mush’ab Ibn Umar al-Islamiyah, 2004.
Faris, Ahmad bin, Abu al-Husain. Maqayis al-Lughah. Bairut: Dar al-Fikr.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta Selatan: Teraju, Cet, I, 2003.
Hanafi, Hasan. Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat. Alih Bahasa Yudian Wahyudi. Yogyakarta: Nawesea Press, 2007.
al-Juwaini, Musthafa al-Shawi. Manahij fi al-Tafsir. Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’arif.
al-Mubarakfury, Shafiyyurrahman. al-Rahiq al-Makhtum. Riyad: Maktabah Dar al-Salam, 1994.
al-Muth’iny, Ibrahim, Abd Azhim bin. Khashaish al-Ta’bir al-Qur’any. Kairo: Maktabah Wahbah, 1992.
al-Qurthubi, Abu Abdillah. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Bairut Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, Cet. V, 2003.
Saleh, Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jakarta: Sulthan Thaha Press, Cet. I, 2007.
Salim, Abd Muin. Metodologi Tafsir, Sebuah Rekonstruksi Epistimologis. Orasi Pengukuah Guru Besar dalam Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1999.
Shihab, Quraish. Rasionalitas al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2006.
__________ Mukjizat al-Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka, Cet. XVI, 2006.
Syurbasyi, Ahmad. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1999.

[1] Salah satu contohnya adalah Umar bin Khattab yang kagum terhadap al-Qur’an ketika dia mendengar Rasulullah membaca surah al-Haqqah. (untuk lebih lengkapnya baca, Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, al-Rahiq al-Makhtum, (Riyad: Maktabah Dar al-Salam, 1994) hal. 101.
[2] Abu al-Husain Ahmad bin Faris, Maqayis al-Lughah, (Bairut: Dar al-Fikr) Jilid 4 hal. 504
[3] Karena kata tafsir sudah identik dengan al-Qur’an dan telah menjadi istilah umum bagi semua kalangan, maka yang dimaksud dengan tafsir dalam makalah ini adalah Tafsir al-Qur’an, bukan tafsir secara umum.
[4] Maqayis al-Lughah, Op.Cit. Jilid 5 hal. 255
[5] Lihat Abd Muin Salim, Metodologi Tafsir, Sebuah Rekonstruksi Epistimologis, (Orasi Pengukuah Guru Besar dalam Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1999) hal. 34.
[6] Ahmad Syurbasyi, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1999) hal. 31
[7] Musthafa al-Shawi al-Juwaini, Manahij fi al-Tafsir, (Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’arif) hal. 15
[8] Lihat Surah al-Nahl ayat 44 dan 64, Surah Ibrahim ayat 4.
[9] Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mush’ab Ibn Umar al-Islamiyah, 2004) hal. 38-43.
[10] Seperti ketika Rasulullah menafsirkan lafal السائحون dengan الصائمون dalam Surah al-Taubah ayat 112 dari hadis riwayat Abdullah bin Abd Malik atau kata لدلوك الشمس dalam Surah al-Isra’ ayat 78. (Untuk Lebih Jelasnya, baca Manahij fi al-Tafsir, Op.Cit, hal. 16.
[11] Umat Islam pada saat Rasulullah masih hidup, jarang bertanya tentang segala hal, khususnya yang terkait dengan tafsir al-Qur’an kecuali hal-hal yang sangat mendesak, karena mereka segan dan hormat kepada Rasulullah. Hal itu terbukti setelah Rasulullah wafat, Abdullah ibn Abbas banyak menafsirkan al-Qur’an.
[12] Olehnya itu, Abdullah bin Abbas dianggap sebagai Abu al-Tafsir (Bapak tafsir), Baca Manahij fi al-Tafsir, Op.Cit, hal. 23. Ibn Abbas mendapatkan titel sebagai abu al-Tafsir tidak lepas dari beberapa keistimewaan antara lain; doa Rasulullah kepadanya اللهم علمه الكتاب والحكمة, tumbuh dan besar dalam rumah tangga Rasulullah, banyak bergaul dengan tokoh-tokoh sahabat setelah Rasulullah wafat, penguasaan bahasa arab dan seluk beluknya yang dalam dan keberanian melakukan ijtihad. (lihat al-Tafsir wa al-Mufassirun, Op.Cit. hal. 52. Dan salah satu penafsiran Ibn Abbas dengan pendekatan bahasa yaitu ketika menafsirkan lafal الوسيلة dengan الحاجة dalam Surah al-Maidah ayat 35. Untuk contoh-contoh lengkapnya, lihat Musa’id Muslim Abdullah Ali Ja’far, Atsar al-Tathawwur al-Fikriy fi al-Tafsir, (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1984) hal. 383.
[13] Ibid. Jilid 1 hal. 77-86. Abdulllah bin Abbas dan murid-muridnya menafsirkan al-Qur’an seputar makna sinonim saja. Sedangkan untuk nahwunya diprakarsai oleh Abu al-Aswad al-Duwaly (w. 69 H). Baca Atsar al-Tathawwur al-Fikriy fi al-Tafsir. Op.Cit. hal. 38
[14] Sebenarnya benih-benih madrasah dengan karakter masing-masing sudah muncul sejak sahabat masih ada yaitu madrasah lughah di Makkah yang diasuh oleh Abdullah bin Abbas, madrasah riwayat di Madinah (al-ma’tsur) yang dipimpin oleh Ubay bin Kaab dan madrasah al-aqliyah (rasional) di Irak yang dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud. (lengkapnya, lihat al-Tafsir wa al-Mufassirun, Op.Cit. hal. 77 – 93).
[15] Semiotik adalah menganalisa hubungan antara kata, baik sebelum dan sesudahnya dalam satu kalimat seperti tafsir al-Qur’an al-Karim karya Quraish Shihab. Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi. (Jakarta Selatan: Teraju, Cet, I, 2003) hal 211
[16] Semantik ialah analisa bahasa yang terkait antar beberapa kosa kata yang sama artinya atau yang berlawanan, begitu juga isytiqaq (perubahannya)
[17] Metode penyajian adalah metode yang digunakan mufassir dalam menulis dan menyusun bukunya dengan menggunakan salah satu tiga metode (tahlily, maudhu’i dan muqaran) Sedangkan metode pembahasan adalah metode yang digunakan mufassir dalam mengkaji dan menganalisa al-Qur’an dengan memilih salah satu dari empat merode yang ada (tahlily, ijmali, maudhu’i dan muqaran). Untuk menghindari kekaburan tersebut, penulis memisahkan antara metode penyajian dengan metode pembahasan karena keduanya memiliki kesamaan dan dapat digabungkan satu sama lain.
[18] Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Sulthan Thaha Press, Cet. I, 2007) hal. Kata Pengantar
[19] Quraish Shihab memasukkan Tafsir al-Manar dalam kategori tafsir muqaran dari aspek pembahasan linguistiknya. (lebih jelasnya, baca Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2006) hal.138
[20] Abd Azhim bin Ibrahim al-Muth’iny, Khashaish al-Ta’bir al-Qur’any, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992) hal. 49
[21] Lihat, Abu Abdillah al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Bairut Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, Cet. V, 2003) Jilid. 6 hal. 90
[22] al-Tafsir wa al-Mufassirun, Op.Cit. Jilid 2 hal. 143.
[23] Penafsiran tersebut tentu jauh berbeda dengan penafsiran mayoritas ulama. Untuk lebih jelasnya, baca al-Tafsir wa al-Mufassirun, Op.Cit. Jilid 2 hal. 86.
[24] سلطان meliputi berbagai macam kemampuan dan penguasaan seperti ilmu pengetahuan, keberanian, kekuatan dan pemaksaan.
[25] Untuk lebih lengkapnya, baca Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, Cet. XVI, 2006) hal. 175-180.
[26] Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Op.Cit. hal. Kata pengantar.
[27] Hasan Hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, Alih Bahasa Yudian Wahyudi, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) ha. 18
[28] Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Op.Cit. hal. Kata pengantar.
[29] Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, Op.Cit. hal. 20-22.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Epistimologi Tafsir Politik/ Haraki/Siasi #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.

Pengertian Tafsir Tematik #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.