Hakikat akal dan fungsinya dalam kehidupan





 Abdurrohim Harahap S.Th. I. M. A


baca juga: https://jurnalilmiyah.blogspot.com/2020/10/metode-menghafal-al-masniari.html


Hakikat akal adalah insting yang disiapkan untuk mengenali informasi-informasi nalar. Seakan-akan ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu. Dengannya hati siap mengenali sesuatu. Kadar dari insting berbeda sesuai dengan tingkatannya.[1]

Kedudukan akal seperti seorang raja. Memiliki banyak pasukan, yaitu tamyiz (kemampuan membedakan), daya hafal dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah akal, karena menyebabkan apsek fisik memperoleh kekuatan.[2]

Al Ghazali melihat akal sebagai jiwa rasional, yang mempunyai dua daya: daya al ‘amilat (praktis) dan daya al ‘alimat (teoritis). Akal praktis digunakan untuk kreativitas dan akhlak manusia. Artinya, terwujudnya tingkah laku yang baik bergantung pada kekuatan akal praktis dalam menguasai daya-daya jiwa tersebut. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat immateri dan abstrak. Hubungannya adalah dengan ilmu-ilmu yang abstrak dan universal.

Dari sudut ini, akal teoritis mempunyai empat tingkatan kemampuan, yaitu: al ‘aql al hayulani (akal material), al ‘aql bi al malakat (habitual intellect), al ‘aql bi al fi’il (akal aktual), dan al aql al mustafad (akal perolehan).

Akal al hayulani merupakan potensi belaka, yaitu kesanggupan untuk menangkap arti-arti murni yang tak pernah berada dalam materi atau belum keluar.

Akal malakat, yaitu kesanggupan untuk berfikir abstrak secara murni mulai kelihatan sehingga dapat menangkap pengertian dan kaidah umum. Misalnya, seluruh lebih besar daripada bagian.

Akal fi’il yaitu akal yang lebih mudah dan lebih banyak menangkap pengertian dan kaidah umum yang dimaksud. Akal ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki.

Adapun akal al mustafad, yaitu akal yang di dalamnya terdapat arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan dengan mudah sekali.

Cara beraktivitas akal-akal tersebut untuk menghasilkan ilmu dapat dijelaskan secara singkat: akal hayulani semata-mata berupa potensi, hanya mampu menangkap sesuatu dari luar jika mendapat rangsangan. Kemudian akal malakat melakukan abstraksi. Proses abstraksi itu menghasilkan pengertian. Hasil abstraksi (pengertian) itu kemudian disimpan oleh akal fi’il dan selanjutnya diteruskan pada akal mustafad menjadi ilmu.[3]

 Akal memerlukan deria sebagai kuasa yang tunduk padanya, sebagai mata-mata, sebab deria itulah yang membawa berita dari alam luar kepada akal, kemudian akal meneliti dan menilai berita-berita itu.[4]

Itulah pandangan al Ghazali tentang ilmu sebagai proses, di mana deria dan akal sebagai alatnya.



[1] Al Ghazali, Muhtashar Ihya’ Ulumiddin, terj. Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan yang ditulis sendiri oleh sang hujjatul Islam, (

Al-Farabi membagi daya berfikir pada tiga tingkatan, yaitu:Akal Potensil, Akal Aktuil dan Akal Mustafad. Akal Potensil menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan Panca-Indra, Akal Aktuil menangkap arti-arti dan konsep-konsep, sedangkan Akal Mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan atau menangkap inspirasi dari Akal yang di atas dan di luar diri manusia (Dr. Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme dalam Islalm: 30)
Kelihatannya yang dimaksud Al-Farabi dengan Akal Potensil itu adalah keadaan Otak dan Hati/Qolb Manusia yang belum terlatih (masih berbentuk insting), Akal Aktuil adalah Otak manusia yang sudah terlatih sedangkan Akal Mustafad adalah Hati/Qolb manusia yang sudah terlatih sehingga bisa menangkap pengetahuan menembus batas kemampuan Otak
kebanyakan buku-buku tidak jelas menyebutkan kata ‘Aql. Seperti Yang dikatakan oleh Dr. Harun Nasution: bahwa ‘Aql tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tetang Tuhan, sedangkan Qolb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan (Filsafat dan Mistisisme dalam Islam :77)
Apakah yang dimaksud ‘Aql itu Kata Kerja atau Wadah/Alat. Bila yang dimaksud Kata Kerja, maka tidak seharusnya dibedakan dengan Qolb (sebagai wadah/alat) karena akan mengaburkan pengertian.
Bila menemukan kata ‘Aql dibedakan dengan Qolb maka yang dimaksud 'Aql itu adalah Wadah lain selain Qolb yang berfungsi untuk berfikir Yaitu: “Otak”.
Jadi menurut kami seharusnya kata “Aql” itu digunakan untuk menyatakan “Kata Kerja” artinya berfikir bukan sebagai “Wadah/Alat” artinya otak atau qolb.
Karena keterbatasan kemampuan fungsi “Otak” hanya pada masalah materi dan kerja “Otak” tidak disebut-sebut dalam Kitab Suci, maka tugas Otak akan berakhir dengan berakhirnya jasmani. Sebagaimana pendapat Ibnu Sina Jiwa tumbuh-tumbuhan dan Binatang, dan karena hanya mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik dan jasmani, maka akan mati dengan matinya badan serta tidak akan dihidupkan kembali di hari kiamat (Filsafat dan Mistisisme dalam Islam: 32)
Namun demikian “Otak” tetap merupakan bagian jasmani terpenting dalam kehidupan manusia di dunia, karena “Otak-lah” manusia bisa hidup mulia didunia dan menjadi salah-satu jembatan mengantarkan Hati/Qolb mendapat limpahan “Ruh Illahi” (menemukan pengetahuan yang sebenarnya). Oleh karena itu janganlah disia-siakan untuk memikirkan sesuatu yang tidak berguna agar mendaptkan kebahagiaan hidup yang lengkap di-dunia dan di-akherat. amiiin.

                Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut seperti di bawah ini:

                         i.     Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.

                       ii.     Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.

                     iii.     Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.

                     iv.     Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu fa’aala).[16]

Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika manusia mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.

Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.

Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua …selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.[17]

Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).[18]

C.           Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina sependapat dengan al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya.

Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.

Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.

Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).

Pemikiran tentang kenabian menjelaskan bahwa nabi merupakan manusia yang paling unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha yang keras.

 baca juga": https://jurnalilmiyah.blogspot.com/2017/11/pengertian-hakikat-manusia-menurut-islam.html


Komentar

Agus Adriansyah mengatakan…
Izin share ya Ustad Abdurrahim ... 👍

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Epistimologi Tafsir Politik/ Haraki/Siasi #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.

IQRA' AL-MAHERA #Metode Cepat Membaca Al-Qur'an

Metode Tafsir Sayyid Qutub Dalam Kitab Fi Dzilalil Qur'an#Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.