Kedudukan Hadis dalam Istinbath Hukum Nahdlatul Ulama’
A. Kedudukan Hadis dalam Istinbath
Hukum Nahdlatul Ulama’.
a. Sekilas Tentang Lajnah Bahtsul
Masa’il serta Metode Pengambilan Hukum
Seperti telah dijelaskan diatas, NU dalam mengambil sumberajaran islam menempatkan al-Qur’an sebagai sumber pedoman yang utama kemudian al-Sunnah sebagai sumber hukum islamyang keduaNahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama berkeyakinan teguh tidak akan berubah sedikitpun bahwa Islam sebagai agama Allah Swt yang bersumber kepada wahyunya yang telah berwujud kitab al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber hakiki. Dalam al-Qur’an dan hadis, sumber hukum sebagai sumber utama hukum Islam bagi NU tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan mengikuti hukum yang sudah jelas dan pasti tersebut. Namun, NU dalam memutuskan dan menyelesaikan persolan (istinbat hukum) terkesan mengabaikan al-Qur’an dan hadis tersebut , sumber hukum islam yang pertama dan utama, hal ini disebabkan NU lebih mengutamakan kehati-hatian (ikhtiyat) dalam memutuskan persoalan hukum sehingga perlunya untuk berkompromi dan ‘berkonsultasi’ dengan kitab-kitab kuning (kitab al-Mu’tabarah). yang telah ditulis oleh para mujtahid dahulu, lebih dari itu dengan merujuk –kitab-kitab kuning kembali akan menghindari dari penafsiran eksklusif-pundamentalis terhadap pemahaman al-Qur’an dan al-Hadis karena para perumusnya lebih jauh telah merumuskan “metode” memahami al-Qur’an dan al-Hadis dan merekalah yang berhak untuk merumuskan jawaban dari permasalahan keagamaan atau yang disebut mujtahid. Kemudian, dalam memahami Islam, NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nash al-Qur’an maupun al-Hadis, hal ini juga tidak terlepas dari pandangan bahwa matarantai perpindahan Imu agama Islam tidak boleh terputus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang dapat dilakukan adalah menulusuri matarantai yang baik dan sah pada setiap generasi. Dalam pengantar anggaran dasar NU Tahun 1947, Rais Akbar dan slah seorang pendiri organisasi NU KH.Muhammad Hasyim Asy’ari menyatakan:
Seperti telah dijelaskan diatas, NU dalam mengambil sumberajaran islam menempatkan al-Qur’an sebagai sumber pedoman yang utama kemudian al-Sunnah sebagai sumber hukum islamyang keduaNahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama berkeyakinan teguh tidak akan berubah sedikitpun bahwa Islam sebagai agama Allah Swt yang bersumber kepada wahyunya yang telah berwujud kitab al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber hakiki. Dalam al-Qur’an dan hadis, sumber hukum sebagai sumber utama hukum Islam bagi NU tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan mengikuti hukum yang sudah jelas dan pasti tersebut. Namun, NU dalam memutuskan dan menyelesaikan persolan (istinbat hukum) terkesan mengabaikan al-Qur’an dan hadis tersebut , sumber hukum islam yang pertama dan utama, hal ini disebabkan NU lebih mengutamakan kehati-hatian (ikhtiyat) dalam memutuskan persoalan hukum sehingga perlunya untuk berkompromi dan ‘berkonsultasi’ dengan kitab-kitab kuning (kitab al-Mu’tabarah). yang telah ditulis oleh para mujtahid dahulu, lebih dari itu dengan merujuk –kitab-kitab kuning kembali akan menghindari dari penafsiran eksklusif-pundamentalis terhadap pemahaman al-Qur’an dan al-Hadis karena para perumusnya lebih jauh telah merumuskan “metode” memahami al-Qur’an dan al-Hadis dan merekalah yang berhak untuk merumuskan jawaban dari permasalahan keagamaan atau yang disebut mujtahid. Kemudian, dalam memahami Islam, NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nash al-Qur’an maupun al-Hadis, hal ini juga tidak terlepas dari pandangan bahwa matarantai perpindahan Imu agama Islam tidak boleh terputus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang dapat dilakukan adalah menulusuri matarantai yang baik dan sah pada setiap generasi. Dalam pengantar anggaran dasar NU Tahun 1947, Rais Akbar dan slah seorang pendiri organisasi NU KH.Muhammad Hasyim Asy’ari menyatakan:
“Wahai para Ulama’ dan tuan-tuan
yang takut kepada Allah dari golongan Ahlussunnah Waljama’ah, golongan mazhab
imam yang empat. Engkau sekalian telah menuntut ilmu dari orang-orang sebelum
kalian dan begitu seterusnya secara bersambung kepada kalian, dan engkau
sekalian dan engkau tidak gegabah memperhatikan dari siapa mempelajari agama,
maka oleh karenanya kalian adalah gudang bahkan pintu ilmu tersebut, janganlah
memasuki rumah kecuali melalui pintunya.Barang siapa memasuki rumah tidak
melalui pintunya maka Ia pencuri.”
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami mengapa NU dalam memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi merasa perlu berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap mu’tabarah (diakui) yag ditulis ulama’ mazhab empat. Demikian juga yang dilakukan terhadap sebagian besar persoalan keagamaan yang dibahas dan ditetapkan keputusan oleh Lajnah Bahtsul Masa’il dari kali pertama (1926) sampai saat ini. Tradisi ini dilestarikan melalui lembaga pendidikan pesantren yang berada dibawah naungan NU. Oleh karena itu sikap dan pandangan yang demikian dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam para pengamat sering menyebut dan mengelompokkan NU dalam golongan Islam tradisionalis. Ini bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi yang dikehendaki hanyalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Sedangkan bagi yang belum memenuhi persyaratannya dianjurkan-lebih baik taqlid kepada yang telah memenuhi syarat. Faham taqlid bermazhab menurut Dr.Said Agil Husein al-Munawwar sangat erat kaitannya dengan tradisi intelektual pesantren, transmisi keilmuan yang berlangsung melalui kitab kunig, kitab fiqih yang dipelajari mewarisi fatwa ulama terdahulu dengan sanad yang tak terputus, transmisi seperti ini diyakini memberikan jaminan untuk memperoleh kemurnian ajaran dari sumbernya yang pertama. Oleh karena itu pintu ijtihad menurut NU, hanya terbuka dalam kerangka pemikiran mazhab. Jadi dalam menyelesaikan masalah Lajnah Bahtsul Masa’il tidak memakai istilah ‘ijtihad’ melainkan ‘istinbat’ (penggalian dan penetapan) hukum dengan pendekatan mazhaby.
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami mengapa NU dalam memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi merasa perlu berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap mu’tabarah (diakui) yag ditulis ulama’ mazhab empat. Demikian juga yang dilakukan terhadap sebagian besar persoalan keagamaan yang dibahas dan ditetapkan keputusan oleh Lajnah Bahtsul Masa’il dari kali pertama (1926) sampai saat ini. Tradisi ini dilestarikan melalui lembaga pendidikan pesantren yang berada dibawah naungan NU. Oleh karena itu sikap dan pandangan yang demikian dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam para pengamat sering menyebut dan mengelompokkan NU dalam golongan Islam tradisionalis. Ini bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi yang dikehendaki hanyalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Sedangkan bagi yang belum memenuhi persyaratannya dianjurkan-lebih baik taqlid kepada yang telah memenuhi syarat. Faham taqlid bermazhab menurut Dr.Said Agil Husein al-Munawwar sangat erat kaitannya dengan tradisi intelektual pesantren, transmisi keilmuan yang berlangsung melalui kitab kunig, kitab fiqih yang dipelajari mewarisi fatwa ulama terdahulu dengan sanad yang tak terputus, transmisi seperti ini diyakini memberikan jaminan untuk memperoleh kemurnian ajaran dari sumbernya yang pertama. Oleh karena itu pintu ijtihad menurut NU, hanya terbuka dalam kerangka pemikiran mazhab. Jadi dalam menyelesaikan masalah Lajnah Bahtsul Masa’il tidak memakai istilah ‘ijtihad’ melainkan ‘istinbat’ (penggalian dan penetapan) hukum dengan pendekatan mazhaby.
Dalam penelitiannya Dr. Ahmad Zahro
‘menemukan’ bahwa dalam mengaplikasikan pendekatan mazhaby, Lajnah Bahtsul
Masa’il menggunakan tiga metode istinbat hukum yang diterapkan secara berjenjang,
secara ringkas nya adalah:
a. Metode Qauliy
Merupakan suatu metode dalam
istinbat hukum yang digunakan ulama /intelektual NU dengan mempelajari masalah
yang dihadapi, kemudian mencari jawaban jawabannya kepada kitab Imam yang empat
dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada teksnya dengan kata lain
mengikuti pendapat-pendapat yang sudah ‘jadi’ dalam lingkup mazhab tertentu.
Dalam realitanya, menurut warga NU dan para ulama bahwa metode bahtsul Masa’il
dengan mengacu pada kitab Imam empat mazhab dengan metode qauliy ini masih
refresentatif untuk menjawab segala kebutuhan masyarakat dalam segala zaman
berikut tantangannya.
b. Metode Ilhaqy
Ilhaqiy yang dimaksudkan adalah
menyamakan hukum suatu kasus yang jawabannya tidak terdapat dalam kitab
al-mu’tabarah dengan hukmun atau masalah serupa yang telah dijawab dalam kitab
al-mu’tabarah. metode ini secara operasional sebagaimana qauliy juga telah lama
diperaktekkan ulama NU untuk menjawab permasalahan yang diajukan masyarakat
Nahdliyyin. Metode ini secara opersional sebagaimana qauliy juga telah lama
diperaktekkan oleh ulama yang meskipun secara implisit belum dinamakan
ilhaqiy.[18] Dalam perakteknya ilhaqiy menggunakan prosedur dan persyaratan
mirip qiyas, karenanya juga dinamakan qiyas versi NU, namun ada perbedaan dari
kedua term ini, qiyas memperbandingkan dengan al-Qur’an dan as-sunnah sedangkan
ilhaqiy memperbandingkan dengan kitab al-mu’tabarah.
c. Metode Manhajiy
c. Metode Manhajiy
Yang dimaksudkan dengan metode
manhajiy adalah bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan
hukum yang telah disusun oleh Imam mazhab.[19] Sebagaimana qauliy dan lhaqiy ,
manhajiy sebenarnya sudah diperaktekkan Ulama-ulama NU terdahulu, walaupun
tidak dengan istilah “manahjiy” ataupun keputusan resmi namun jika dilihat dari
kriteria dan ‘identitasnya’ metode ini sudah lama dipakai. Sebagai contoh,
dalam keputusan Muktamar 1 thn 1926:[20] yang menguraikan dapatnya pahala si
mayit atas sodaqoh yang dikeluarkan keluarga dan atau orang lain yang masih
hidup, hal ini disandarkan jawabannya dengan mengutip hadis yang diriwayatkan
Imam al-Bukhari:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ أَخْبَرَنَا
رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِى
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم إِنَّ أُمَّهُ
تُوُفِّيَتْ أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ
لِى مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّى قَدْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا
Artinya: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw, sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya?? Maka beliau menjawab ‘ya’ dapat, Dia berkata sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kupersaksikan kepadamu bahwasanya saya telah menyedekahkannya untuk dia.[21]
Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk kepada hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat Imam mazhab setelah al-Qur’an. Dengan melihat metode penyelesaian masalah dalam Lajnah Bahtsul Masa’il diatas dapat disimpulkan dalam meyelesaikan persoalan ummat, NU dapat dikatakan tidak ‘enggan’ memakai hadis, kendati memakai suatu hadis namun Nahdiyyin tidak serta merta langsung merujuk kepada teks hadis melainkankan memahaminya dengan mereferens kembali kepada pemahaman Imam yang empat terhadap hadis tersebut (kitab al-Mu’tabarah).
b. Kriteria Hadis dalam Bahtsul Masa’il dan penerimaan nya atas Hadis Dhaif Dengan melihat metode dalam Lajnah Bahtsul Masa’il diatas, terlihat bahwa NU dalam menggunakan hadis Nabi Saw tidaklah memilki krieteria tertentu tentang hadis yang dijadikan sebagai hujjah ataupun tidak. namun yang jelas ‘berbeda’ dengan organisasi pembaharu semisal Muhammadiyah dan yang lainnya dengan jargon ‘Back to Qur’an dan Hadis’ tentunya akan memilki kriteria-kriteria hadis tersendiri dalam penetapan hadis yang bisa dijadikan hujjah dan atau tidak.
Kemudian, lebih dari itu leiteratur yang membahas secara spesifik mengenai hadis-hadis yang bisa diterima dalam NU secara umumnya, masih sangat terbatas namun secara umum, dalam amaliyah dan istinbathnya NU masih mentolerer hadis yang berstatus Dhaif –meskipun dengan adanya beberapa persyaratan, dengan catatan hadis ini dipakaki ‘hanya’ dalam lingkup Fadha’il Amal. Kendati demikian, hadis dhaif juga kerap diterima dalam Lajnah Batsul Masa’il dan ini penulis contohkan dalam Bab terakhir. Perdebatan dalam lingkup pemakaian hadis dhaif sebagai hujjah baik dibidang hukum atau aqidah sangatlah beragam dikalangan ulama’ muhaddisin maupun fuqaha’, secara umum terbagi menjadi tiga kategori yakni: a. menerima hadis dhaif secara muthlak, baik mengenai fadhail maupun ahkam, diantara ulama yang memakai pendapat ini adalah Ibnu ‘Arabiy, al-Bukhari dan Imam Muslim serta Ibn Hazm. b. Hadis dhaif bisa diamalkan secara muthlak pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad, keduanya berpendapat bahwa hadis dhai’f lebih kuat dari ra’yu. Sebagaimana yang direkomendasikan Imam Ahmad dengan ungkapannya: ضعيف الحديث اقوى من الرأي[22] c. hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail amal, mawa’idz atau yang sejenis bila memenuhi syarat.[23]Sebagaimana halnya diatas, ketika NU menerima keberadaan hadis dhaif Ia berpandangan bahwa selemah-lemahnya hadis dhaif masih baik dibandingkan dengan ra’yu, dalam pada itu Ijma’ ulama juga telah membolehkan pemakaiannya dalam lingkup fadha’il amal, hal ini disandarkan pada ungkapan Imam Nawawi, dalam beberapa karyanya menyatakan “telah ijma ulama atas diperbolehkannya penggunaan hadits dhaif (ringan) untuk fadhoil amal”[24] Sebagai contoh, Imam Nawawi dan Al hafidz Ibnu Hajar dalam menyusun kitab yang diberi nama ‘Arbain’ (kumpulan 40 hadis) ini didasarkan atas ‘mengamalkan’ hadits Rasulullah Saw:
"Barang siapa diantara umatku yang hafal 40 hadits tentang urusan agamanya, maka Allah akan menmbangkitkannya di hari kiamat nanti dalam kelompok ahli fiqh dan ulama".
Dalam mengomentari validitas hadis diatas, mayoritas Ulama hadits sepakat atas kedhaifan hadits tersebut, namun tidak dipungkiri hadis inilah yang menjadi dasar mereka menyusun kitab “Arbain”. Yang dengan-nya umat Islam bisa mengakses hadis-hadis Rasulullah dan mengetahui hukum didalamnya.[25]
D. Contoh Pemahaman Hadis dalam
Bahtsul Mas’il Nahdlatul Ulama
Dalam kajian ini penulis mencoba meneliti hadis Nabi Saw pada hasil keputusan Muktamar pertama tahun 1926 yang dilaksanakan di Surabaya dari segi Kualitasnya serta bagaimana pemikirannya tentang hadis Saw termasuk kehujjahan hadis ahad dan dhaif dalam istinbath hukum, alasan penulis mengambil hasil keputusan Muktamar pertama tahun 1926 adalah karena hadis yang dipakai masih relevan hingga saat ini diantaranya tentang bermazhab.
1. Dalam hasil Muktamar NU yang pertama yang diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1345 H/21 oktober 1926 M, sebuah pertanyaan yang menyinggung mengenai hukum-hukum mengikuti ulama’ yang empat dan yang lainnya atau yang disebut bermazhab. Hal ini merupakan satu permasalahan yang sangat fundamental karena menyangkut cara dan manhaj kaum NU dalam beragama. Kemudian dalam menggapi hal ini para Ulama dan Intelektualnya menjawab ‘Wajib’, dalam memaparkan jawaban seperti ini sebagaimana yang dipaparkan diatas Nahdlatul Ulama mengambil ‘referensi’ dari berbagai kitab kuning, yang didalamnya dipaparkan dan berdasarkan dengan teks hadis Rasulullah Saw. Salah satu kitab yang menjadi referensinya adalah al-Mizan al-Sya’roni fatawi al-Qubro dan Nihayatussul sebagaimana dalam paparan dibawah ini:
Dalam kajian ini penulis mencoba meneliti hadis Nabi Saw pada hasil keputusan Muktamar pertama tahun 1926 yang dilaksanakan di Surabaya dari segi Kualitasnya serta bagaimana pemikirannya tentang hadis Saw termasuk kehujjahan hadis ahad dan dhaif dalam istinbath hukum, alasan penulis mengambil hasil keputusan Muktamar pertama tahun 1926 adalah karena hadis yang dipakai masih relevan hingga saat ini diantaranya tentang bermazhab.
1. Dalam hasil Muktamar NU yang pertama yang diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1345 H/21 oktober 1926 M, sebuah pertanyaan yang menyinggung mengenai hukum-hukum mengikuti ulama’ yang empat dan yang lainnya atau yang disebut bermazhab. Hal ini merupakan satu permasalahan yang sangat fundamental karena menyangkut cara dan manhaj kaum NU dalam beragama. Kemudian dalam menggapi hal ini para Ulama dan Intelektualnya menjawab ‘Wajib’, dalam memaparkan jawaban seperti ini sebagaimana yang dipaparkan diatas Nahdlatul Ulama mengambil ‘referensi’ dari berbagai kitab kuning, yang didalamnya dipaparkan dan berdasarkan dengan teks hadis Rasulullah Saw. Salah satu kitab yang menjadi referensinya adalah al-Mizan al-Sya’roni fatawi al-Qubro dan Nihayatussul sebagaimana dalam paparan dibawah ini:
"قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إتبعواالسواد الأعظم"
ولمااندرست المذاهب الحقة بانقراض أئمتها إلاالمذ اهب الأربعة التي انتشرت أتباعها
اتباعاللسواد الأعظم
Rasulullah Saw bersabda:Ikutilah mayoritas (umat Islam). Ketika mazhab-mazhab yang benar telah tiada karena wafatnya para Imamnya kecuali empat mazhab yang mengikutinya tersebar luas maka, mengikuti mazhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas dan keluar dari mayoritas tersebut bararti keluar dari mayoritas.[26] Teks hadis diatas merupakan bagian dari jawaban dalam Muktamar I yang diambil secara langsung dari Kitab al-Mizan As-Sya’roni Fatawi Kubra dan Nihayatussul, dengan ini pemahaman yang diambil dari hadis diatas adalah untuk mendapatkan pemahaman islam yang jauh dari eksklufif-fundamentalis yang akan membawa kepada kesesatan adalah dengan mengikuti pendapat mayoritas (mazhab).
Mengenai ‘keadaan’ hadis diatas, mayoritas ulama menilai sebagai hadis dhaif,[27] begitu juga mengenai kwantitasnya hadis diatas hanya diriwyatkan oleh seorang sahabat yakni Anas bin Malik, termasuk hadis kategori Ahad Gharib. Dengan ini hadis yang menjadi dasar NU dalam hukum bermazhab adalah dengan Hadis Dhaif-Ahad Gharib.
2.
Dalam Muktamar ke-5 jawaban masalah tentang sampainya sodaqoh keluarga orang
yang sudah meninggal:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ أَخْبَرَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم إِنَّ أُمَّهُ تُوُفِّيَتْ أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِى مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّى قَدْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا
Artinya: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang
bertanya kepada Rasulullah Saw, sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia
memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya?? Maka beliau menjawab ‘ya’
dapat, Dia berkata sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kupersaksikan
kepadamu bahwasanya saya telah menyedekahkannya untuk dia[28]
Singkatnya, dalam memahami dan menjawab persoalan tentang sampainya pahal sodaqoh kepada mayit ulama NU juga mengambil hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari yang kwalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Singkatnya, dalam memahami dan menjawab persoalan tentang sampainya pahal sodaqoh kepada mayit ulama NU juga mengambil hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari yang kwalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Komentar
Posting Komentar