Pengertian Tafsir Tematik #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.
Abdurrohim Harahap S.Th. I. M. A
Baca Juga: https://jurnalilmiyah.blogspot.com/2020/10/metode-menghafal-al-masniari.html
I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Alquran adalah petunjuk hidup bagi manusia yang dapat
dijadikan pedoman dan undang-undang di dalam memecahkan segala persoalan.
Selain itu juga Alquran adalah menjadi obat bagi siapa yang benar-benar
mengamalkannya. Banyak sekali rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya dan
tidak perlu keragua. Dan sudah banyak orang yang ingin melemahkan atau
mencari sisi yang memungkinkan untuk dijadiakan kekurangannya, malah orang
tersebut secara spontan dapat dikalahkan oleh Alquran itu sendiri. Namun
kesemuanya itu akan dapat memberikan petunjuk, kesan yang benar dan
mendalam di lubuk hati, bila benar-benar diamalkan. Oleh karena itulah
agar Alquran itu benar-benar dapat melekat di hati dan tidak sekadar
dibaca dan dihapalmu membutuhkan kesungguhan untuk mempelajarinya.
Di antaranya harus mempunyai ilmu alat untuk menafsirakannya,
di antaranya mengetahui seluk beluk bahasa arab, fiqh, ushul fiqh, sejarah
asbabunnuzul, nasikh mansukh, sifat tawadhu’, aqidah yang benar, bersih dari
hawa nafsu, menguasai hadis Nabi, ilmu qiraat, lmu ma’ani, ilmu bayan,
ilmu kalam, dan ilmu lainnya.Dalam kerangka memahami Alquran upaya yang
dilakukan adalah melalui penafsiran-penafsiran. Dengan cara ini diharapkan
segala kandungan makna Alquran yang masih terselubung dalam teks (lafaz) dapat
terbuka sehingga sesuatu yang jelas.
“Secara teks Alquran memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks selalu berubah-ubah sesuai konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, Alquran selalu membuka diri utuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpres tasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Alquran itu.” Bila ditinjau dari sudut pandang sejarah penafsiran Alquran tentunya beraneka ragam metode serta bentuk dalam penafsirannya. Para ulama telah membagi metode penafsiran Alquran kepada empat metode, yaitu: metode tahlili (analitik), metode ijmali (umum), metode muqarin (komparasi), dan metode Maudhu’i (tematik).
“Secara teks Alquran memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks selalu berubah-ubah sesuai konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, Alquran selalu membuka diri utuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpres tasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Alquran itu.” Bila ditinjau dari sudut pandang sejarah penafsiran Alquran tentunya beraneka ragam metode serta bentuk dalam penafsirannya. Para ulama telah membagi metode penafsiran Alquran kepada empat metode, yaitu: metode tahlili (analitik), metode ijmali (umum), metode muqarin (komparasi), dan metode Maudhu’i (tematik).
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Tafsir Tematik
Banyak pengertian yang dapat diberikan terhadap Tafsir
Maudhu’i. secara Secara terminologi,
para ahli tidak banyak berbeda dalam merumuskannya, Muhammad Hijazi dan Abd.Hayy
al-Farmawi. Rumusan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
جمع الايات القرآنية ذات الهداف الواحد التى اشتركت فى موضوع ما وترتيبها حسب النزول ما أمكن ذلك مع الوقوف على أسباب نزولها ثم تناولها بالشرح والبيان والتعليق والاستنباط
Tafsir Maudhu’i adalah mengumpulkaan ayat-ayat Alquran yang
mempunyai tujuan yang satu, bersama-sama membahasa topic/ judul/ tema tertentu
dengan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras
dengan sebab-sebab turunnya. Kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan,
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat lain
serta mengistimbat hukum. Sedangkan menurut Zahir bin Awadh, Tafsir
Maudhu’i yaitu : suatu metode pengumpulan ayat-ayat Alquran yang terpisah-pisah
dari berbagai surat dalam Alquran yang berhubungan dengan topik (tema) yang
sama baik secara lafas maupun hukum, dan menafsirkannya sesuai dengan
tujuan-tujuan Alquran.
Sementara itu Baqir Al-Sadr memberikan pengertian, bahwa Tafsir Maudhu’i yaitu : suatu metode Tafsir yang berupaya menghimpun ayat-ayat Alquran dari berbagai surat dan yang berkaiatan pula dengan persoalan atau tema yang ditetapkan sebelumnya, kemudian membahas dan mengnalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Tafsir Maudhu’i yaitu suatu metode penafsiran Alquran dimana para mufassir berupaya mengumpulkan ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang memiliki kesamaan tema, sehingga mengarah kepada suatu pengertian dan tujuan yang sama pula.
Sementara itu Baqir Al-Sadr memberikan pengertian, bahwa Tafsir Maudhu’i yaitu : suatu metode Tafsir yang berupaya menghimpun ayat-ayat Alquran dari berbagai surat dan yang berkaiatan pula dengan persoalan atau tema yang ditetapkan sebelumnya, kemudian membahas dan mengnalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Tafsir Maudhu’i yaitu suatu metode penafsiran Alquran dimana para mufassir berupaya mengumpulkan ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang memiliki kesamaan tema, sehingga mengarah kepada suatu pengertian dan tujuan yang sama pula.
baca juga:https://jurnalilmiyah.blogspot.com/2017/11/pengertian-hakikat-manusia-menurut-islam.html
- Historotas Metode Tafsir Tematik
Bila ditelusuri di masa Rasullullah SAW sebenarnya sudah ada
metode tafsir Maudahu’i ini yang menjelaskan beberapa ayat Alquran tentang tema
atau topik-topik tertentu atau terdapat beberapa ayat yang semakna yang
terkenal dengan sebutan tafsir Alquran dengan Alqurqan atau tafsir ayat dengan
ayat. Sebab Alquran sebagai pedoman hidup bagi manusia, dan petunjuk ajarannya
diturunkan sesuai dengan situasi kondisi yang dibutuhkan sehingga
kadang-kadang diturunkan dengan ayat yang berbentuk mujmal, tetapi kadang-kadang
dalam ayat terperinci atau bentuk khusus. Hal-hal yang diterangkan secara
global pada suatu ayat, sering pula dijelaskan secara terperinci pada ayat
lain, seperti halnya petujuk yang diberikan secara umum pada suatu tempat
kemudian dijelaskan secara khusus pada tempat lain.
Contoh penggunaan metode tafsir Maudhu’i pada mada Nabi Muhammad SAW yakni penafsiran beliau terhadap kata “ظلم “ dalam ayat 82 surah al-Ana’m yang berbunyi sebagai berikut:
الذ ين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك ا لأمن وهم مهتدون
Kata “ ظلم ” diartikan oleh beliau dengan kemusyrikan sebagaimana disebutkan dalam Alquran surah Luqman ayat 13 yaitu: ان الشرك لظلم عظيم
Contoh penggunaan metode tafsir Maudhu’i pada mada Nabi Muhammad SAW yakni penafsiran beliau terhadap kata “ظلم “ dalam ayat 82 surah al-Ana’m yang berbunyi sebagai berikut:
الذ ين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك ا لأمن وهم مهتدون
Kata “ ظلم ” diartikan oleh beliau dengan kemusyrikan sebagaimana disebutkan dalam Alquran surah Luqman ayat 13 yaitu: ان الشرك لظلم عظيم
Penafsiran Nabi tentang ayat di atas dapat dijadikan sebagai
awal sebagai lahirnya tafsir Maudhu’i dan mengisyaratkan lafas-lafas suatu ayat
yang sukar diketahui maksudnya perlu dicari penjelasannya dengan ayat lain. Perkmbangan
berikutnya muncul benih-benih tafsir Maudhu’i beberapa halamanan
kitab-kitab yang menafsirkan Alquran dengan Alquran sebagian tafsirnya walaupun
hal itu belum dikhususkan sebagai tafsir Mauduh’i, misalnya al-Razi,
tafsir al-Qurtubi, tafsir Ibn Arabi. Selain itu sebagian ulama jug ditemukan
telah menggunakan kajian metode tafsir yang mendekati metode
tafsir Maudhu’i misalnya:
- Ibn Qoyyim, yang khusus membicarakan
sumpah-sumpah dalam kitabnya” Al-Bayan
fi Aqsam Alquran”.
- Abu Ubaidah dengan karyanya “ Majaz
Alquran”.
- Abu Ja’far al-Nahas Menulis tafsir “
Al-Nasikh wa Al-Mansukh”.
- Al-Wahidi Menulis sebuah karya
“Asbab al-Nuzul”.
- Al-Jash-Shash telah menulis “Ahkam
al-Quran”.
Disini diketahui bahwa permulaan tafsir Maudhu’i telah
tmbuh, tapi belum berdiri sendiri yang bersifat khusus, hanya mengupas berbagai
macam judul/ tema/ pembahasan tertentu. Tapi hal ini setidaknya
menjelaskan bahwa penafsiran metode yang semacam ini bukanlah hal yang baru.
Hanya saja para mufassir belkangan ini menjadikan metode Maudhu‘i dalam Alquran
metode yang berdiri sendiri, bahkan dipisahkan dengan metode yang lainnya.
Perkembangan berikutnya khazanah ilmu pengetahuan diperkaya dengan munculnya tafsir Maudhu’i.Tokoh pertama yang dipandang melahirkannya adalah Syekh Muhammad Abduh dengan tafsirnya “Al-Manar”, kendati secara secara umum tafsir ini bercorak tahlili, namun sangat kuat terlihat adanya membahas kecenderungan suatu tema atau topik tertentu. Kemudian disusul dengan Syekh Syalthut tokoh inilah yang pertama membangun dasar-dasar metode tafsir Mau dhu’i. Setelah itu bermunculanlah karya-karya sang sama dengan menggunakan tafsir Mauduh’i di antaranya:
Perkembangan berikutnya khazanah ilmu pengetahuan diperkaya dengan munculnya tafsir Maudhu’i.Tokoh pertama yang dipandang melahirkannya adalah Syekh Muhammad Abduh dengan tafsirnya “Al-Manar”, kendati secara secara umum tafsir ini bercorak tahlili, namun sangat kuat terlihat adanya membahas kecenderungan suatu tema atau topik tertentu. Kemudian disusul dengan Syekh Syalthut tokoh inilah yang pertama membangun dasar-dasar metode tafsir Mau dhu’i. Setelah itu bermunculanlah karya-karya sang sama dengan menggunakan tafsir Mauduh’i di antaranya:
- Al-Mar’ah fi Alquran, karya Abbas al-
‘Aqqad
- Al-Riba fi Aluran, karya Abu a’la
al-Mawdudi
- Al-Aqidah fi Alquran al-Karim, karya
Muhammad Abu Zuhroh
- Al-Uluhiyah wa al-Risalah fi Alquran al-Karim,
karya Muhammad al-Samahi
- Al-Insan fi Alquran, karya Ibrahim Manna,
dan lain-lain.
Metode tafsir Maudhu’i ini memang relatif sangat baru
dibanding dengan metode tafsir yang lain. Keberadaannya sebagai sesuatu tafsir
yang mandiri dinyatakan baru muncul beberapa dasawarsa terakhir, dipelopori
oleh para dosen jurusan tafsir fakultas ushuluddin Universitas Al-Azhar,
di bawah prakarsa Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumi. Di Indonesia sendiri belum
banyak karya tafsir yang menggunakan metode terbaru ini. Mungkin menjadi
gebrakan yang baru ketika M. Quraish Shihab dan abang kandungya Umar Shihab
mencoba mengungkapkan bebagai persoalan umat yang didekatkan melalui tema-tema
Alquran. Kiranya pantas kalau mereka berdua dikatakan sebagai tokoh pertama di
Indonesia yang memperkenalkan metode tafsir Maudhu’i.
- Langkah-Langkah Yang Ditempuh.
Dalam mengugunakan metode tafsir Maudhu’i ini menggunakan
kejelian dan kehati-hatian di antaranya harus mengetahui langkah-langkah
kerja sesuai dengan aturan mainnya. Abd. Hayy Farmawi menawarkan langkah-langkah
sebagai berikut.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh bagi seorang
mufassir dalam menggunakan metode tafsir Maudhu’i ini, yaitu:
1. Tentukan terlebih dahulu masalah/topik
(tema) yang akan dikaji, untuk menetapkan masalah ini dianjurkan melihat “Kitab
Tafsir Alquran Al-Karim .karya sekelompok orientalis yang diterjemahkan oleh
Muhammad Fuad Al-Baqi.
2. Inventarisir (himpun) ayat-ayat yang
berkenaan dengan tema/topik yang telah ditentukan, (selain dibantu kitab di
atas, dapat pula di baca Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Fil Quran “karangan
M. Fuad Al-Baqi”.
3. Rangkai urutan ayat sesuai dengan masa
turunnya baik itu Makiyah maupun Madaniyahnya, hal ini dapat juga dilihat pada
“al-Itqon” karya Al-Suyuti dan “Al-Burhan” karya Al-Zarkasyi.
4. pahami korelasinya (munasabahnya)
ayat-ayat dalam masing-masing suratnya.
5. Susun bahasan di dalam kerangka yang
tepat, sistematis, sempurna dan utuh.
6. Lengkapi bahasan dengan Hadis. Sehingga
uraiannya menjadi jelas dan semakin sempurna.
7. Pelajari ayat-ayat tersebut secara
sistematis dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung
pengertian yang serupa, menyesuaikan antara pengertian yang umum dan yang
khusus, antara Mu’allaq dan Muqayyad, atau ayat-ayat yang kelihatannya
kontradiksi, sehingga semua bertemu dalam satu muara sehingga tidak ada
pemaksaan dalam penafsiran.
Adapun rumusan langkah-langkah yang ditempuh dalam metode
tafsir Maudhu’i yang dikemukakan oleh Ali Hasan al-Aridh antara lain :
1. Himpun seluruh ayat-ayat Alquran yang
terdapat pada seluruh surat yang berkaitan dengan tema yang hendak dikaji.
2. Tentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun
itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya
jika hal itu dimungkinkan.
3. Jelaskan munasabah antara ayat-ayat itu
pada masing-masing suratya dan kaitkan antara ayat-ayat tersebut dengan
ayat-ayat yang ada sesudahnya.
4. Buat sistematika kajian dalam kerangka
yang sistimatis dan lengkap dengan outlinenya yang mencakup semua segi dari
tema kajian tersebut.
5. Kemukakan Hadis-Hadis Rasulullah SAW
yang berbicara tentang tema kajian serta menerangkan derajat hadis-hadis
tersebut untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang memperlajari tema itu.
6. Rujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan
Bangsa Arab dan syair-syair mereka) dalam menjelaskan lafas-lafas yang terdapat
pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dalam menjelaskan maknanya.
7. Kajian terhadap ayat-ayat yang
berbicara tentang tema kajian dilakukan secara Maudhu’i terhadap segala
segi dan kandungannya, bail lafaz ‘Am, Khas, muqayyad, mu’allaq, syarat, jawab,
Hukum-hukum fiqih, nasakh dan Mansukh (bila ada), unsur balaghoh dan I’jaz,
berusaha memadukan ayat-ayat lain yang diduga kontradiktif dengannya atau
dengan Hadis-Hadis Rasulullah SAW yang tidak sejalan dengannya, menolak
kesamaran yang sengaja ditaburkan oleh pihak-pihak lawan Islam, juga menyebut
berbagai macam qira’ah, menerapkan makna ayat-ayat terhadap kehidupan
masyarakat dan tidak menyimpang dari sasaran yang dituju dalam tema kajian.
Kedua prosedur atau langkah-langkah di atas, walaupun
dikemukakan dengan cara sedikit berbeda namun secara esensial keduanya tentu
saling berkaiatan dan saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga nampaklah
bahwa langkah-langkah tersebut menempatkan penyusunan pembahasan dalam satu
kerangka yang sempurna.
Zahir bin Awadh, lebih luas menambahkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menggunakan metode Tafsir Maudhu’i antara lain :
Zahir bin Awadh, lebih luas menambahkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menggunakan metode Tafsir Maudhu’i antara lain :
1. Menafsirkan ayat-ayat tersebut yang
dapat dipahami dari padanya hikmah didatangkannya ayat-ayat yang tersebut
dantujuan dari syari’at yang dibawanya.
2. Melahirkan tema tersebut dalam satu
bentuk uraian yang sempurna dan lengkap yang berpedoman pada syarat-syarat
penelitian ilmiah.
Dengan demikian semakin jelaslah bahwa dari ketiga pendapat
tersebut di atas tetap menempatkan unsur tema atau topik sebagi unsur yang
pertama dan sangat diutamakan.
Inilah yang menjadi karakteristik metode Tafsir Maudhu’i
yang membedakan dengan Tafsir lainnya.Dari berbagai langkah yang dikemukakan di
atas, maka kita dapat melihat beberapa persamaan dan sedikit perbedaan yang
harus ditempuh bagi seorang mufassir dalam menggunakan metode Tafsir Maudhu’i ini.
Persamaannya adalah :
a. Bagi seorang mufassir harus terlebih
dahulu menentukan topik yang akan dikaji, kemudian menghimpun ayat-ayat yang
berkenaan dengan tema yang telah ditentukan dan menentukan pula urutan ayat
sesuai dengan masa turunnya.
b. Menentukan munasabah antara satu ayat
dengan ayat lainnya dengan menentukan pula bahasan dalam suatu kerangka yang
tepat dan sistematis yang mencakup semua segi dari tema kajian.
c. Mengemukakan Hadis-Hadis Rasulullah SAW
yang juga menerangkan tema yang telah ditentukan. Sedangkan perbedaannya,
tampak bagi kita bahwa Ali Hasan al-Aridh, ia menambahkan lebih jauuh untuk
menjelaskan makna-makna ayat membicarakan tentang tema kajian yang telah
ditentukan, sorang mufassir harus merujuk kepada lughot atau syair-syair Arab.
- Analisis Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Tematik
Sebagai suatu metode penafsiran Alquran, maka metode
Maudhu’i ini memiliki beberapa kelebihan yang juga tidak terlepas dari beberapa
kekurangannya.
1. Kelebihan :
a. Metode ini akan jauh dari
kesalahan-kesalahan karena ia
menghimpun
berbagai ayat yang berkaitan dengan satu topik bahasan sehingga ayat yang satu
menafsirkan ayat yang lain.
b. Dengan metode Maudhu’i seseorang
mengkaji akan lebih jauh mampu untuk memberikan sesuatu pemikiran dan jawaban
yang utuh dan sempurna tentang suatu pokok permasalahan (tema) yang dikaji.
c. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan
mudah untuk dipahami. Hal ini karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Alquran
yang mengemukakan berbagai pembahasan yang terperinci dalam satu disiplin ilmu.
d. Dengan metode ini juga dapat
membuktikan bahwa persoalan-persoalan yang disentuh Alquran bukan bersifat
teoritis semata-mata atau yang tidak dapat ditrapkan dalam kehidupan
masyarakat. Namun ia dapat membawa kita kepada pendapat Alquran tentang
berbagai problem hidup yang disertakan pula dengan jawaban-jawabannya.
e. Ia dapat mempertegas fungsi Alquran sebagai
kitab suci serta mampu membuktikan keistimewaan-keistimewaan
Alquran.
f. Metode ini memungkin seseorang untuk
menolak adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Alquran.
2. Kekurangan
a. Masih memerlukan keterlibatan
Tafsir-Tafsir klasik sekalipun Tafsir metode Tafsir yang mandiri. Sesuai dengan
terminologinya bahwa Tafsir Maudhu’i ini hanya membahas
satu topik atau tema dari sekian banyak tema dalam Alquran.
b. Dalam menerapkan metode ini bukan hanya
memerlukan waktu yang panjang tetapi juga ketekunan, ketelitian, keahlian
serta kemampuan akademis.
Jadi metode Maudhu’i ini pula pada hakekatnya belum
mengemukakan seluruh kandungan ayat Alquran yang ditafsirkannya, maka harus diingat
pembahasan yang diuraikan atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan
oleh mufassirnya, sehingga dengan demikian mufassir harus selalu mengingat hal
ini agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang
ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut dalam pokok bahasannya.
- Contoh Penafsiran Dengan Menggunakan Tafsir Tematik
Berikut ini akan diberikan contoh sederhana tafsir
Maudhu’i yang dibahas oleh Abd. Hayy Farmawi dalam kitabnya Al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Maudhu’i. Pembahasan yang
akan saya kemukakan adalah tentang kata “Ummiy” yang terdapat di dalam beberapa
ayat.
Di dalam kitab Mu’jam al- Mufahras Alquran istilah ummiy disebutkan dalam Alquran sebanyak enam kali, yaitu QS 7 ayat 157 dan 158, QS3 ayat 20 dan 75, QS 62 ayat 2, dan QS 2 ayat 78.
Yang dimaksud “ummiy” di dalam QS 7 ayat 157 dan 158 adalah nabi Muhammad SAW, sedangkan yang terdapat pada QS 3 ayat 20 dan 75 dan QS 2 ayat 78 adalah suku bangsa Arab, mereka memang terkenal dengan ini, karena kebanyakan dari mereka tidak pandai tulis baca.
Di dalam kitab Mu’jam al- Mufahras Alquran istilah ummiy disebutkan dalam Alquran sebanyak enam kali, yaitu QS 7 ayat 157 dan 158, QS3 ayat 20 dan 75, QS 62 ayat 2, dan QS 2 ayat 78.
Yang dimaksud “ummiy” di dalam QS 7 ayat 157 dan 158 adalah nabi Muhammad SAW, sedangkan yang terdapat pada QS 3 ayat 20 dan 75 dan QS 2 ayat 78 adalah suku bangsa Arab, mereka memang terkenal dengan ini, karena kebanyakan dari mereka tidak pandai tulis baca.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa istilah “ummiy” yang
digunakan oleh Alquran adakalanya ditujukan ke pada Nabi Muhammad SA, bangsa
Arab, dan golongan tertentu dari orang-orang Yahudi, yang kesemua adalah orang
tidak bias membaca dan menulis.
1. Pengertian Ummiy menurut bahasa
1. Pengertian Ummiy menurut bahasa
Secara etimologi kata ummiy orang yang tidak pandai menulis.
Menurut Al-Zujaj ummiy adalah orang yang hidup di lingkungan umat yang tidak
bias belajar menulis. Menurut Ibn Ishak, arti ummiy dinisbatkan kepada suatu
sifat yang diciptakan untuknya oleh ibunya yaitu dia tidak pandai tulis baca,
seseorang yang tidak pandai menulis disebut ummiy, karena budaya itu diperoleh
begitu saja lewat warisan, maka seolah hal tersebut dinisbatkan kepada beliau
atau lingkungan suasana di mana ia dilahirkan, yakni suasana yang dibentuk oleh
ibunya untuknya.
Suku bangasa Arab dikatakan ummiyun, karena tulisan di kalangan mereka itu sangat langka, bahkan tidak ada sama sekali. Pengertian ini memang terkenal di kalangan bangsa Arab dan sesuai dengan yang tertera di dalam Alquran.
Suku bangasa Arab dikatakan ummiyun, karena tulisan di kalangan mereka itu sangat langka, bahkan tidak ada sama sekali. Pengertian ini memang terkenal di kalangan bangsa Arab dan sesuai dengan yang tertera di dalam Alquran.
2
.Batasan Ummiy.
Meski pengertian ummiy menurut bahasa dan yang
dimaksudkan oleh Alquran adalah sama-sama tidak pandai tulis baca, namun
kenyataan menunjukkan bahwa di kalangan bangsa Arab banyak juga tulisan yang
bentuknya sangat jelas, baik penulisan riwayat hidup, dokumen-dokumen,
surat-surat dan lain-lain. Begitu pula pada zaman Arab Jahiliyah dan awal Islam
terdapat orang-orang yang pintar baca tulis bahkan, dari sahabat Nabi ada
yang pandai tulis baca dan menguasai beberapa bahasa asing. Seperti
Waraqah bin Naufal selain dia bisa bahasa Arab dan Persia belia juga menguasai
kitab Taurat dan Injil, Zaid bin Sabit pernah belajar bahasa Suryani atas
anjuran Nabi SAW dia juga terkenal sebagi penterjemah semacam surat kabar yang
berbahasa Persia dan Habsyi. Semua ini menunjukkan budaya pandai menulis di
kalangan bangsa Arab telah tersebar dan sekalanya cukup besar, tetapi belum
bisa dijadikan bahan untuk menghapus ketenaran mereka sebagai bangsa yang
ummiy. Sifat dan ketenaran nama ummiy ini sangat tenar di kalangan mereka,
sehingga Islam berjuang menghapus predikat tersebut dari kalangan budaya
mereka. Agak berlebihan seandainya di saat berbicara tentang
kepandaian tulis baca pada bangsa Arab pada masa Jahiliyah dan awal Islam kita
berusaha untuk menghapus predikat ummiy yang sangat dominan pada diri mereka
sebelum berhasil menembus kegelapan yang menyelimuti mereka seperti yang
diungkapkan Alquran.
Seorang pembahas yang bernama Nasiruddin al-Asad
mengemukakan bahwa istilah ummiy bangsa Arab yang dikemukakan
dalam Alquran bukanlah tidak pandai tulis baca melainkan aqidah
watsaniyah yang mereka jadikan dasar agama. Jadi istilah ummiy tidak ada
kaitannya dengan soal ilmu dan kebodohan. Alasannya dia menafsirkan
Alquran Surah al-Baqarah ayat 78, kata ummiy dalam ayat tersebut adalah kaum
yang tidak mau mengimani Rasul yang diutus oleh Allah dan tidak mau mengimani
kitab yang Allah turunkan kepada Nabi- Nya. Demikianlah pendapat Nasiruddin al-Asad
yang ingin meniadakan sifat ummiy dari bangsa Arab sebelum dan awal Islam.
Pengarang (Farmawi) menolak pendapat Nasiruddin tersebut, karena menurutnya
para ahli bahasa arab telah bersepakat istilah ummiy berarti orang yang tidak
pandai tulis baca.
Menurut Ibn Katsir hadis Nabi yang berbunyi ( انا أمة أمية لا تكتب ولا تحسب ) berarti kami tidak memerlukan tulisan dan hisab di dalam
ibadah dan waktu-waktu kami. Dengan arti yang demikian terlihat jelas bahwa
Nabi SAW tidak memperlihatkan sikap menghapus atau menetapkan sifat ummiy
tersebut, hadis ini hanya sekadar untuk menunjukkan batas toleransi Islam di
bidang ibadah dan hukum-hukumnya. Kalau dianalisa dua ayat tentang kaum Yahudi
yaitu pada surah al-Baqarah ayat 78 secara cermat dan seksama, maka kita akan
menemukan sesuatu kompromi yang tidak bertentangan dengan arti masing-masing
dari dua ayat tersebut. Jalan kompromi yang dimaksud yaitu firman Allah
( ( ومنهم
أميون mensifatkan kaum awam Yahudi, sedangkan maksud
ayat ( ( الذين يكتبون الكتاب
بأيدهم mensifatkan para
ulama mereka. Oleh karena itu Syekh Al-Maraghi menafsirkan ayat sesudahanya
yaitu ( فويل ا للذين يكتبون الكتاب ) sebagai berikut celaka besar bagi para ulama Yahudi
yang menulis kitab dengan tangan mereka, kemudian berkata kepada kaum awam ini
adalah kalamullah di dalam kitab Taurat.
BAB
III
PENUTUP
a. kesimpulan
Secara singkat Tafsir Maudhu’i dapat diformulasikan sebagai
suatu Tafsir yang berusaha mencari jawaban-jawaban Alquran tetang suatu masalah
dengan jalan menghimpunkan ayat-ayat yang berkaitan dengannya, serta
menganalisa melalui ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah-masalah yang
dibahas, sehingga dapat melahirkan konsep-konsep yang utuh dari Alquran tetang
berbagai masalah.
Metode yang relative baru dan dianggap aktual dalam
penafsiran Alquran brangkat dari suatu kesatuan yang logis dan saling berkaitan
antara satu sama lainnya. Jadi tidak ada satupun kontradiksi ayat-ayat Alquran,
hal ini semakin jelas sebagaimana yang ditegaskan pula didalam Alquran itu
sendiri. Asumsi dasar ini berkaitan dengan prinsip yang amat masyhur dikalangan
mufassir yaitu Alquran يفسر بعضه بعضا yaitu bahwa sebagian ayat Alquran
diTafsirkan dengan ayat yang lain.
baca juga:https://jurnalilmiyah.blogspot.com/2017/11/hakikat-akal-dan-fungsinya-dalam.html
DAFTAR PUSTAKA
-------Abu
al-Fadl al-Misri. Lisan al-Arab, XIV, Beirut: Dar al-Sadir,t.t.
-------Ahmad
Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi, Mesir: al-Halabiy, 1946
-------Ali
Hasan Al-A’ridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerjemah, Ahmad Akrom, Raja
Wali: Jakarta, 1992
------Al-Aridh,Ali
Hasan. Sejarah metodologi Tafsir. Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada, 1994.
------Al-Farmawiy,Abdul
Al-Hayy. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Kairo : al-Hadharah al-‘Arabiyah,
1977.
------Al-Ma’i,Zahir
bin Awadh. Dirasat fi al- Tafsir al-Maudhu’i, 1997.
------Al-Sadr,
Muhammad Baqir. Tafsir Maudhu’i wa Tafsir Al-Tajzi’i pi Al-Quran
Al-Karim. Beirut : Ta’aruf al-Matb’at, 1980.
------Ibn
Kasir, Tafsir Alquran al- Karim, Jilid I, Beirut al-Maktabah al-Tijariyah
al-Kubra, 1937
------Muhammad
Fuad, al- Baqi. Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Alquran al-Karim, Beirut: Dar
al-Fikri, 1987
-------Shihab,M.
Quraish. Wawasan Alquran. Bandung : Mizan, 1996.
-------Umar
Sihab. Kontekstualaitas Alquran Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Alquran.
Jakrta: Penerbit Penamadani, 2003
Komentar
Posting Komentar