Abdurrohim Harahap S. Th. I. M.Us.
B A B I
PENDAHULUAN
Islam dan sains (ilmu pengetahuan) adalah dua hal yang
sangat kita perlukan dalam menjalani kehidupan di dunia dan persiapan
hidup di akhirat. Islam diperlukan kita sebagai jalan mencapai
kebahagian hidup di akhirat, sedangkan sains diperlukan kita sebagai
pegangan kita menghadapi tantangan dan memecahkan masalah (duniawi) yang
terjadi didalam kehidupan manusia .
Islam menekankan eksplorasi keilmuan kepada pemeluknya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “carilah/tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”. Sains
dan teknologi yang ada sekarang itu sebenarnya sudah tercantum dalam
al-qur’an. Contohnya proses terjadinya manusia, proses terjadinya siang
dan malam, proses terjadinya hujan dan sains lainnya banyak yang sudah
tercantum dalam al-qur’an.
Selain mempermudah kegiatan manusia, sains dan teknologi punya peran
penting dalam peribadatan orang islam. Contonya dalam masalah penentuan
waktu sholat, penentuan arah kiblat, hingga penentuan 1 ramadhan dan 1
syawal tidak luput dari peran sains dan teknologi. Maka dari itu antara
islam dan sains mempunyai keterkaitan yang harus berjalan secara
seimbang. Sehingga keduanya dapat membawa kita mencapai kebahagian di
dunia maupun di akhirat.
B A B II
PEMBAHASAN
1. Pengertian islam dan sains
Islam, kata ini adalah suatu suku kata yang dipergunakan oleh nabi
Muhammad SAW, untuk nama ajaran yang dibawanya yaitu islam. Secara
harfiah (etimologi), islam berasal dari bahasa arab yang mempunyai
banyak arti antara lain tunduk, patuh, berserah diri dan selamat.
Menurut istilah Harun Nasution memberikan definisi tentang islam, bahwa
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad sebagai Rasul. Islam pada
hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi,
tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia.
[1]Sedangkan kata sains berasal dari bahasa latin “scientia” yang
berarti pengetahuan. Ada pula yang mendefinisikan sains adalah
“pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian” atau
“pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum – hukum
alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode
ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk
mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan
eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang
terjadi di alam .
Pengertian sains juga merujuk kepada susunan pengetahuan yang orang
dapatkan melalui metode tersebut, atau bahasa yang lebih sederhana,
sains adalah cara ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan
metode tertentu.
Sains dengan definisi diatas sering kali disebut dengan sains murni,
untuk membedakannya dengan sains terapan, yang merupakan aplikasi sains
yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. ilmu sains biasanya
diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
– Natural sains atau Ilmu Pengetahuan Alam
– Sosial sains atau ilmu Pengetahuan social
Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan, sains
sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan
untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang
gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah,
merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data,
menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa
karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala
alam dapat berbentuk kuantitas.
[2]Ilmu berkembang dengan pesat, yang pada dasarnya ilmu berkembang dari
dua cabang utama yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun
ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian
berkembang ke dalam ilmu-ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilmu
alam membagi menjadi dua kelompok yaitu ilmu alam (the physical
sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam ialah ilmu
yang mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan ilmu hayat
mempelajari makhluk hidup didalamnya. Ilmu alam kemudian bercabang lagi
menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari
substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit dan ilmu
bumi), (the earth sciences) yang mempelajari bumi kita.
Al – Qur’an dengan Sains
Mu’jizat islam (al-qur’an) yang paling utama ialah hubungannya dengan
ilmu pengetahuan. Surah pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
SAW ialah nilai tauhid, keutamaan pendidikan dan cara untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan. Islam juga memerintahkan umatnya mencari ilmu untuk
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW “Menutut ilmu itu wajib bagi setiap orang islam”.
Al – qur’an (kitab suci umat islam) mengandung ilmu pengetahuan yang pasti dan tidak ada pertentangan di dalamnya.
Di
dalam Al-qur’an terdapat kurang lebih 750 rujukan yang berkaitan dengan
ilmu, sementara tidak ada agama atau kebudayaan yang lain yang
menegaskan dengan begitu tegas akan pentingnya ilmu dalam kehidupan
manusia untuk menjamin kebahagiaannya di muka bumi ini dan di akhirat.
[3]Ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an antara lain ialah ilmu yang
berhubungan dengan kemasyarakatan yang memberi pedoman dan petunjuk dan
juga terdapat maklumat atau isyarat tentang perkara – perkara yang telah
menjadi tumpuan kajian sains, misalnya :
1. Cap jari tangan sebagai tanda pengenal manusia
( Q.S al- Qiyamah : 3-4)
2. Penciptaan planet bumi dan langit (Q.S al- Anbiya’ : 30)
3. Bahwa planet bumi beredar menurut orbitnya mengelilingi matahari (QS. Al- Anbiya’ : 33)
4. Penciptaan makhluk semuanya berpasangan (QS. Yasin : 36)
Allah SWT telah membuat peraturan sebab-akibat bagi makhluk –Nya
supaya umat manusia merasa tentram dan stabil di muka bumi ini, serta
berusaha untuk mendapatkan keridloan-Nya. Allah telah memberitahukan
umat manusia perkara-perkara yang tidak dapat dipikirkan oleh manusia
melalui wahyu. Hal itu untuk menunjukkan kepada manusia bahwa Allah SWT
Maha Esa dan semua yang ada di alam semesta dibawah kekuasanNya.
Sebenarnya berbicara mengenai pengetahuan tidak akan pernah
dilepaskan dari dua aspek. Pertama adalah aspek yang mengetahui yaitu
manusia atau disebut juga sebagai subjek kedua adalah aspek yang
diketahui atau disebut juga sebagai objek antara subjek dengan objek
tidak akan pernah bisa dipisahkan, artinya tidak akan pernah ada. Sebuah
pengetahuan andai kata salah stu dari kedua aspek itu tidak ada yang
tidak ada. Hasil interaksi antara subjek dan objek itu kemudian
dikomunikasikan dan jadilah pengetahuan. Jadi pengetahuan pada dasarnya
ialah kesatuan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui.
Sekarang kita yakin bahwa sains adalah sejenis penjelasan tentang
suatu hal yang mengungkap berbagai kondisi (sebab-musabab) yang terjadi
didalamnya. Sains juga merupakan sejenis penjelasa tentang suatu hal
yang mengungkapkan contoh suatu hukum atau keseragaman umum. Hal ini
juga msih benar, seandainya kita mengatakan bahwa usaha sungguh-sungguh
sains bukan penjelasan terakhir tentang berbagai hal, tetapi sains hanya
menganalisis dan mengklarifikasikan hukum-hukum tersebut dan menentukan
berbagai kondisi yang terjadi atas mereka kemudian merumuskan atau
memformulasikan cara-cara mereka bertingkah laku.
[4]
Cara kerja sains adalah sebagai berikut :
I. Kumpulan fakta-fakta
II. Gambaran tentang fakta-fakta
1. Definisi dan gambaran umum
2. Analisis
3. Klasifikasi
III. Penjelasan tentang fakta-fakta
1. Memastikan sebab-musabab (invartable antecedents)
2. merumeskan berbagai kesamaa prilaku(uniformities of behavior)
3. Peran Islam dalam Sains
Kekuatan akal atau rasio manusia dalam realitas faktualnya tidaklah
cukup untuk menyingkap tabir rahasia kejadian dan kehidupan di alam
semesta. Alasan logisnya, manusia adalah makhluk yang merupakan
sesuatu yang diciptakan dan berada dalam keterbatasan, yang tak terbatas
adalah Sang Kholik. Dengan demikian manusia adalah noktah penciptaan
dari totalitas ciptaan yang ada, yang mana kemampuan pengetahuannya
sangatlah bergantung pada kemurahan Sang Kholik.
Dalam hal ini islam sebagai ajaran yang datang dari Al-Kholiq sudah
tentu lebih tinggi kedudukannya dibandingkan sains. Artinya, realitas
kebenaran yang ada dalam islam yang mana bersumber dari wahyu lebih
terjamin, sifatnya absolut dan bisa dipercaya karena ia tidak datang
dari kemampuan manusia yang terbatas.
[5]Islam mengajarkan manusia untuk melakukan nazhar (mengadakan
observasi dan penilitian ilmiah) terhadap segala macam peristiwa alam
diseluruh jagad ini dan juga terhadap lingkungan masyarakat serta
historisitas bangsa-bangsa terdahulu. Seperti dalam firmanNya dalam
surat Yunus ayat 101 “Lihatlah apa-apa yang dilangit dan dibumi…” dan surat Ali Imron ayat 137 “Sesungguhnya
telah berlaku sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Maka berjalanlah kamu
di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan
agama”.
Dari penjelasan di atas dapat kita kritisi tentang perbedaan nazhar
yang diperintahkan Allah dan nazhar yang biasa dilakukan dalam sains.
Berbeda dengan nazhar pada sains, yang hanya menitik beratkan pada
observasi dan eksplorisasi ilmiah untuk meneliti substansi material alam
semesta, nazhar yang diperintahkan agama tidak hanya sekedar kerja
rasio dan rasa, tetapi juga didorong aktif oleh manifestasi iman kepada
Allah. Dengan demikian islam mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita
selidiki dan teliti secara mendalam itu adalah terbatas pada ciptaan
Allah dan semata-mata dalam rangka menigkatkan iman manusia kepada
Allah.
Antara abad ke-9 dan ke-13, peradaban Islam berkontribusi besar terhadap perkembangan sains pramodern dan pengetahuan yang diteruskan dari Yunani ke Eropa melalui penerjemahan secara besar-besaran. Seiring waktu, keadaan berubah. Tiga abad kemudian, yaitu abad ke-16, muncul perkembangan sains modern di Eropa.
Terjadi revolusi besar metode keilmuan. Peristiwa ini membuat hubungan kekuasaan antarnegara diukur berdasarkan penguasaan teknologi. Akhirnya, hal itu mengarah pada kolonisasi bangsa-bangsa Eropa terhadap dunia Islam. Di sisi lain, ada upaya yang ditempuh sejumlah figur di negara-negara Islam dengan mengadopsi teknologi mereka.
Hal itu terjadi sekitar abad ke-19. Menurut Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, setelah Mesir ditaklukkan Napoleon Bonaparte, Muhammad Ali mengambil alih kekuatan negara dan berkuasa pada 1805 sampai 1848. Selama berkuasa, ia mengalihkan teknologi Prancis dan Inggris ke Mesir dengan mengandalkan para pekerja asing di Mesir.
Ia memperkenalkan cetak pres pertama. Semula langkahnya itu dikecam sebagian ulama karena ada bagian dari alatnya yang terbuat dari kulit babi. Namun, dia mampu mengatasinya sehingga Bulaq Press yang didirikannya mampu mencetak 81 buku berbahasa Arab dalam bidang sains antara 1821 dan 1850.
Percetakan, teknologi irigasi, pabrik tekstil, penambangan batu bara dan besi, serta perlengkapan militer menjadi prioritas perhatian. Sekolah-sekolah teknik didirikan untuk membangun sumber daya yang berketerampilan. Lebih dari 400 mahasiswa kala Muhammad Ali berkuasa dikirim ke Eropa untuk menimba ilmu sains dan taktik militer.
Orang-orang Turki Usmaniyah membangun kekuasaan yang besar dan luas pada abad ke-16, juga segera menyadari manfaat teknologi militer, khususnya senjata-senjata berat yang dapat mereka pinjam dari Barat. Perubahan radikal mencuat pada masa pemerintahan Selim III yang berlangsung pada 1761 hingga 1808.
Gagasan tentang modernitas mendorong Sayyid Akhmad Khan menjadi pembela perkembangan sains dan pemikiran modern. Ia berbeda pendapat dengan mereka yang menentang sains karena dianggap tabu dalam ajaran agama. Ia meyakini kekalahan umat Muslim oleh Barat akibat keterbelakangan mereka di bidang sains.
Ia tergerak menafsirkan kembali teologi Islam agar dapat dipadukan dengan gagasan sains dan humanisme. Kecaman mendera dirinya karena penafsiran ulang itu, tapi tak menghentikan sikapnya. Bahkan, ia mendirikan Universitas Islam Aligarh. Melalui lembaga pendidikan tinggi ini, ia memberi kesempatan kaum Muslim untuk belajar.
Dorongan untuk mengejar ketertinggalan penguasaan sains modern oleh umat Islam disampaikan pula oleh Jamal al-Din al-Afghani (1883-1897). Al-Afghani menegaskan, tak ada kontradiksi antara Islam dan sains. Islam, kata dia, justru menganjurkan pemikiran rasional dan melarang taklid buta.
Perbincangan mengenai sains dan Islam pada gilirannya melahirkan apa yang disebut dengan sains Islam. Mereka mengenalkan dan mendukung berargumentasi. Sains Islam menawarkan alternatif Islam terhadap tantangan sains Barat modern yang mereka anggap bersifat reduksionis dan tidak mengakomodasi keyakinan Islam.
Usulan-usulan menciptakan sains alternatif ini bermunculan sejak 1970-an. Penulis terkenal, Maurice Bucaille, merupakan salah satu pendukung istilah sains Islam ini. Dia adalah ahli bedah asal Prancis. Ia menguraikan pandangannya dalam karya yang berjudul The Bible, the Qur’an, and Science.
Menurut Bucaille, Alquran secara tepat mengantisipasi semua penemuan ilmu, sedangkan Injil tidak. Pandangan lain terlontar, sains Islam merupakan pengetahuan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan keyakinan tauhid, ibadah, kepemimpinan, dan menolak kezaliman serta untuk memenuhi rasa keingintahuan.
Mereka menilai, wahyu melebihi rasio dan harus menjadi pedoman utama memperoleh ilmu yang sahih. Ilmuwan Muslim, Seyyed Hossein Nasr, menegaskan, sains Islam yang benar hanya bisa didapatkan melalui ‘intelek’ yang merupakan pemberian Tuhan, artinya tak mengandalkan akal semata, tetapi hati.
5. Sains Moderen dan Islam
Keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara
jujur lahir dari bentuk romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau
begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi
kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban yang
berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, catatan sejarah di atas akan
membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju.
[6]Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh
jika berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya
peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang
sains melalui prestasi institusional dan epistemologis menuju pada
proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang memungkinkan
nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan
yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama
dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang
pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.
Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen?
Bukankah sains moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi
manusia? Pernyataan ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap
kritis bagaimana sains moderen membuat kehidupan (sekelompok) manusia
menjadi lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang dari Sal Restivo
yang mengungkap bagaimana sains moderen adalah sebuah masalah sosial
karena lahir dari sistem masyarakat moderen yang cacat.
Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir
sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan
mengkritik sains moderen sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi,
kualitas hidup manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta
isinya. Dalam kondisisi seperti ini, Islam semestinya dapat menjadi
suatu alternatif dalam mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.
Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius
untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat
dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan
dogma sains moderen yang mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai
sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas dan
universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah.
Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari
kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya.
Sementara universalitas tidak lebih dari sekedar alat hegemoni sains
moderen terhadap sistem pengetahuan yang lain.
[7]Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan
beberapa sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang
dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan
tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah
tantangan terbesar bagi saintis muslim dalam upaya membangun sistem
pengetahuan yang islami.
6. Islam dan Sains di Indonesia
Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama
Islam terbesar di dunia selalu dikaitkan dengan harapan akan bangkitnya
Islam di negara ini. Fakta kuantitatif ini sayangnya belum cukup bagi
kita untuk bersikap optimis. Kendala besar bagi cita-cita tersebut ada
pada dua sisi. Sisi pertama adalah masih lemahnya tradisi ilmiah di
Indonesia. Walaupun Indonesia memiliki perguruan tinggi yang cukup
berkualitas, kegiatan ilmiah yang sehat, khususnya dalam bidang sains,
dalam menghasilkan pengetahuan yang orisinil masih jauh dari harapan.
Kondisi ini menjadi lebih lemah lagi karena terpisahnya sains dan
filsafat dalam wacana akademik. Masuknya sains dalam kategori ilmu
eksakta sementara filsafat sebagai ilmu non-eksakta adalah indikasinya.
Padahal kategori eksakta dan non-eksakta tersebut bersifat ilusif. Ini
menyebabkan tidak terbentuknya suatu tradisi filsafat kritik sains yang
mapan, dan sebaliknya, sains berjalan sendiri seolah-olah dia bersifat
otonom.
Pada sisi kedua, merujuk pada tesis Nurcholish Majid, satu kenyataan
bahwa masyarakat Islam di Indonesia tidak mewarisi tradisi intelektual
peradaban Islam ketika masa keemasan. Islam muncul di Indonesia justru
ketika tradisi intelektual Islam sedang mengalami penurunan di tempat
asalnya sehingga tradisi intelektual tersebut tidak sempat terserap
dalam sistem sosial dan kebudayaan. Disamping itu, salah satu syarat
tumbuhnya tradisi intelektual adalah adanya sikap keterbukaan atau
inklusivitas karena suatu sistem pengetahuan baru dapat terbentuk dengan
baik jika berada dalam sistem sosial yang menghargai perbedaan dan
keberagaman pemikiran. Hal ini menjadi isu penting mengingat masih
kuatnya eksklusivitas di berbagai lapisan masyarakat Islam di Indonesia.
Sebagai penutup, apa yang diuraikan di atas adalah suatu bentuk
kepedulian terhadap Islam dan sains di Indonesia yang patut mendapat
perhatian publik secara terus menerus untuk membangkitan semangat dan
tradisi kritik sains sekaligus kritik bagi masyarakat Islam di
Indonesia. Dan karenanya studi relasi antar sains dan Islam seharusnya
menjadi agenda penting, baik dalam tradisi filsafat Islam maupun dalam
wacana sains di level teoritis maupun praksis.
BAB III
KESIMPULAN
Antara islam dan sains harus berjalan dengan selaras atau seimbang.
Sains memerlukan islam sebagai rujukan dalam melakukan observasi dan
mengingatkan manusia akan fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki
keterbatasan sehingga tidak mendewakan akal serta tidak sombong dengan
apa yang dihasilkannya. Karena semua itu semata-mata atas kemurahan
Allah yang maha Kuasa. Islam juga mengajarkan kepada umatnya agar apa
yang telah diperoleh dari perkembangan sains dapat menambah keimanan
terhadap Allah SWT.
Disamping itu sains juga memiliki andil dalam islam. Dengan adanya
sains, umat islam dapat mengetahui arah qiblat, penentuan waktu sholat
dan konversinya serta penentuan 1 ramadhan dan 1 syawal lewat Badan
Hisab dan Rukyat Departemen Agama yang mana Badan Hisab dan Rukyat
menggunakan sains dalam menentukan hal-hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- Hadi, H. (2009). Sains untuk Kesempurnaan Ibadah Penerapan sains dalam peribadatan.Yogyakarta: Prima Pustaka.
- Noordin, S. (2000). Sains menurut perspektif Islam. kuala lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur.
- Al-Faruqi, Ismail R. (1982) Islamization of Knowledge: the Problem,
Principles, and the Workplan, Islamabad : National Hijra Centenary
Committee of Pakistan.
- Ir.R.H.A.Sahirul Alim, M. (1996). Menguak Keterpaduan Sains,Teknologi dan Islam. Yogyakarta: Dinamika.
[1] Hadi, H. (2009). Sains untuk Kesempurnaan Ibadah Penerapan sains dalam peribadatan.Yogyakarta: Prima Pustaka.
[3] Noordin, S. (2000). Sains menurut perspektif Islam. kuala lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur.
[4] Irawan, Filsafat Sains dari masa ke masa. Bandung ; Intelekia Pratama.2007.
[5] Ir.R.H.A.Sahirul Alim, M. (1996). Menguak Keterpaduan Sains,Teknologi dan Islam. Yogyakarta: Dinamika.
[6]
Al-Faruqi, Ismail R. (1982) Islamization of Knowledge: the Problem,
Principles, and the Workplan, Islamabad : National Hijra Centenary
Committee of Pakistan.
Komentar
Posting Komentar