Hukum menahan infaq masjid

HUKUM MENAHAN INFAQ MASJID


Pendahuluan

Kata infaq adalah kata serapan dari bahasa Arab: al-infâq. Kata al-infâq adalah mashdar (gerund) dari kata anfaqa–yunfiqu–infâq[an]. Kata anfaqa sendiri merupakan kata bentukan; asalnya nafaqa–yanfuqu–nafâq[an] yang artinya: nafada (habis), faniya (hilang/lenyap), berkurang, qalla (sedikit), dzahaba (pergi), kharaja (keluar). Karena itu, kata al-infâq secara bahasa bisa berarti infâd (menghabiskan), ifnâ’ (pelenyapan/pemunahan), taqlîl (pengurangan), idzhâb (menyingkirkan) atau ikhrâj (pengeluaran).[1] Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa infaq bisa diberikan kepada siapa saja artinya mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu termasuk dalam hal ini adalah mengeluarkan infaq ke mesjid.[2] Namun yang menjadi permasalahan lain adalah berkenaan tentang penyaluran infaq mesjid, hal ini karena beberapa kenajiran mesjid terkesan menahan-nahan infaq masjid dan tidak menyalurkannya. Dari hal ini sekurangnya ada 2 permasalahan yang harus kita diskusikan yaitu:

1.   Apakah hukum menahan infaq masjid?

2.   Apakah hukum menyalurkan infaq masjid untuk kepentingan umat/kegiatan sosial?

Dua permasalahan diatas harus dapat kita bedakan, hal ini karena beberapa kenajiran masjid menganggap hal ini sama, namun pada hakikatnya berbeda. Untuk menjawab 2 permasalahan berikut dapat kita lihat pada pembahasan di bawah ini:

a.   Hukum menahan infaq mesjid?

Sejauh ini penulis belom menemukan dalil tekstual dari al-Qur’an dan Hadith berkenaan hukum menahan infaq masjid. Namun dalam hal ini dapat dikaji melalui ijtihad ulama dan qiyas dalam menentukan hukum dan permasalahannya. Dalam Kitab Fiqhul Islami wa Adillatihi Liz Zahili 5/3796 diperbolehkan menyimpan uang mesjid jika khawatir uang tersebut dicuri atau dirampok. Namun dalam hal ini apakah meyimpan dan menahan memiliki makna yang serupa. Berdasarkan pengamatan pengkaji, menyimpan berbeda dengan menahan.  Menyimpan berfungsi untuk keamanan, sedangkan menahan pula suatu hal yang dihentikan manfaatnya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dengan demikian tidak boleh seorang takmir menahan infaq mesjid yang tidak dketahui sampai kapan penggunannya, hal ini berdasarkan pendapat ulama dalam kitab بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ halaman 258 dijelaskan:

 وَظِيْفَةُ الْوَلِيِّ فِيْمَا تَوَلَّي فِيْهِ حِفْظُهُ وَتَعَهُّدُهُ وَالتُّصَرُّفُ فِيْهِ بِالْغِبْطَةِ وَالْمَصْلَحَةِ وَصَرْفُهُ فِيْ مَصَارِفِهِ مِنْ حَيْثُ إِجمْاَلٌ وَمَا مِنْ حِيْثُ تَفْصِيْلٌ فَقَدْ يَخْتَلِفُ الْحُكْمُ فِيْ بَعْضِ فُرُوْعِ مَسَائِلِ اْلأَوْلِيَاءِ.

Artinya: Secara umum tugas seorang wali terhadap harta yang menjadi tangung jawabnya adalah menjaga, mengawasi, mentashorufkannya dengan baik dan sesuai tempatnya.

 

Hal tersebut juga dapat diqiyaskan dengan ayat al-quran berkenaan penyaluran baitul mal yang harus disegerakan dalam distribusinya dan dilarang menahan-nahannya. Hal ini sepertimana firman Allah swt dalam al-Qur’an surat adz-Dzariat ayat 19,

وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ

 Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

Dari penjelasan ayat diatas permasalahan utama adalah memberikan harta sesuai hak dan fungsinya, dengan demikian ayat ini menjadi dalil qiyas tentang tidak bolehnya menahan uang infaq mesjid tanpa sebab dan tidak memfungsikannya untuk kemakmuran mesjid, ayat ini juga dapat menjadi qiyas kepada infaq mesjid yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain selain kemakmuran mesjid termasuk kepentingan sosial.

Selain dalil qiyas diatas, hukum menahan infaq masjid tanpa sebab juga dapat diqiyaskan dengan hukum menahan-nahan zakat yang akan dikeluarkan seorang muslim, hal ini dapat diqiyaskan karena titik fokus pembahasan terletak pada penahanan atau menahan, karena pada prinsipnya infaq mesjid dan zakat seorang muslim merupakan amal syar’i yang harus segera disalurkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran islam. Dalam pendapat lain bahkan dijelaskan kata infaq juga dapat bermakna menyalurkan, dengan demikian tidak ada hujjah bagi takmir untuk menahan uang kas/infaq mesjid.  Seperti yang tercantum dalam firman Allah Swt,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْأَحْبَارِ وَٱلرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۗ وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا۟ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

Artinya: "...Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya/menyalurkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar kepada mereka, (bahwa meraka akan mendapat) azab yang pedih, (ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, "Inilah harta bendamu yang kami simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (at-Taubah 34-35).

 Dalam ayat lain djelaskan kata menahan serupa dengan kata bakhil, sepertimana firman Allah swt:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.

Sekali-kali janganlah orang-orang, yang bakhil terhadap harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kalian kerjakan.” [Âli-‘Imrân: 180]

 

Sedangkan dalam hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَا صَاحِبِ كَنْزٍ لَا يَفْعَلُ فِيهِ حَقَّهُ إِلَّا جَاءَ كَنْزُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ يَتْبَعُهُ فَاتِحًا فَاهُ فَإِذَا أَتَاهُ فَرَّ مِنْهُ فَيُنَادِيهِ خُذْ كَنْزَكَ الَّذِي خَبَأْتَهُ فَأَنَا عَنْهُ غَنِيٌّ فَإِذَا رَأَى أَنْ لَا بُدَّ مِنْهُ سَلَكَ يَدَهُ فِي فِيهِ فَيَقْضَمُهَا قَضْمَ الْفَحْلِ

“Tidaklah pemilik harta simpanan yang tidak melakukan haknya padanya, kecuali harta simpanannya akan datang pada hari kiamat sebagai seekor ular jantan aqra’ yang akan mengikutinya dengan membuka mulutnya. Jika ular itu mendatanginya, pemilik harta simpanan itu lari darinya. Lalu ular itu memanggilnya,“Ambillah harta simpananmu yang telah engkau sembunyikan! Aku tidak membutuhkannya.” Maka ketika pemilik harta itu melihat, bahwa dia tidak dapat menghindar darinya, dia memasukkan tangannya ke dalam mulut ular tersebut. Maka ular itu memakannya sebagaimana binatang jantan memakan makanannya”. [HR Muslim no. 988]

Dalam hadist lain dijelaskan:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا ( لَا يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ ) الْآيَةَ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak menunaikan zakatnya, pada hari kiamat hartanya dijadikan untuknya menjadi seekor ular jantan aqra’ (yang kulit kepalanya rontok karena dikepalanya terkumpul banyak racun), yang berbusa dua sudut mulutnya. Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Ular itu memegang dengan kedua sudut mulutnya, lalu ular itu berkata,’Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu’. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,’Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil menyangka ….. Al ayat (Ali Imran 180)’.” [HR Bukhari no. 1403]

كُنْتُ فِيْ نَفَرٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَمَرَّ أَبُوْ ذَرٍّ فَقَالَ: بَشِّرِ الْكَانِزِيْنَ بِكَيٍّ فِيْ ظُهُوْرِهِمْ يَخْرُجُ مِنْ جُنُوْبِهِمْ وَبِكَيٍّ فِيْ أَقْفَائِهِمْ يَخْرُجُ مِنْ جِبَاهِهِمْ

Saya pernah berada di antara kaum Quraisy. Kemudian Abu Dzar lewat dan berkata, ‘Sampaikanlah berita pada orang yang menyimpan  hartanya (menahan zakat) bahwa punggung mereka akan disulut hingga keluar dari lambungnya, dan tengkuk mereka dicos hingga keluar dari keningnya’.” (HR. Bukhari)

 

بَشِّرْ الْكَانِزِينَ بِرَضْفٍ يُحْمَى عَلَيْهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ثُمَّ يُوضَعُ عَلَى حَلَمَةِ ثَدْيِ أَحَدِهِمْ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ نُغْضِ كَتِفِهِ وَيُوضَعُ عَلَى نُغْضِ كَتِفِهِ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ حَلَمَةِ ثَدْيِهِ يَتَزَلْزَلُ

“Sampaikanlah berita pada orang-orang yang menyimpan  hartanya (menahan zakat) bahwa batu-batu yang dipanaskan di neraka Jahannam akan diletakan di puting mereka hingga keluar dari pundaknya, dan diletakan di pundaknya hingga keluar dari puting kedua dadanya, hingga membuat tubuhnya bergetar tidak karuan.” (HR. Bukhari)

 

Pendapat lain tercantum di dalam Ḥāsyiyatā Qalyūbi wa ‘Umairah, juz 3, h. 150 menyebutkan:

 

وَيَجِبُ عَلَى نَاظِرِ الْوَقْفِ اِدِّخَارُ شَيْئٍ مِمَّا زَادَ مِنْ غِلَّتِهِ لِعِمَارَتِه وشِرَاءِ عِقَارٍ بِبَاقِيْهِ وَاَفْتَى بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ بِجَوَازِ الْاِتِّجَارِ فِيْهِ اِنْ كَانَ مِنْ وَقْفِ مَسْجِدٍ وَاِلَّا فَلَا وَسَيَأْتِى اِقْرَاضُهُ

 

Dan pengawas wakaf (nazir) wajib mengabadikan (menabung) sesuatu yang merupakan penambahan hasil untuk pembangunan dan membeli properti (barang tetap) dengan yang lainnya. Sebagian Ulama mutaakhkhir telah memfatwakan  bahwa diperbolehkan untuk memperdagangkannya jika ia tetap untuk wakaf masjid, jika tidak maka tidak boleh. Akan datang keterangan memberikannya sebagai pinjaman.

 

Berdasarkan pendapat tersebut, sepanjang penahanan itu bersifat maslahat untuk masjid dan tetap ada upaya untuk menyalurkannya terhadap maslahat masjid walaupun tidak segera, maka itu termasuk bagian dari tugas wajib setiap nazir. Adapun sikap nazir yang hanya menyimpan infaq dan tidak menyalurkannya kepada kepentingan umat terkait maslahat masjid adalah penyalahgunaan amanah. Hukum menyalahgunakannya adalah haram.

Berdasarkan beberapa dalil dari al-qur’an dan hadits diatas berkenaan larangan menahan zakat bagi setiap muslim, maka dapat diqiyaskan dengan kasus menahan uang kas masjid/infaq masjid tanpa sebab. Karena pada hakikatnya mereka yang berinfaq ketabung mesjid berharap infaq yang mereka berikan segeral disalurkan agar dapat dinikmati banyak insan. Allahu a’lam.

b.   Apakah hukum menyalurkan infaq masjid untuk kepentingan umat/kegiatan sosial?

Setiap orang yang memasukkan infak ke kotak masjid tanpa maklumat apapun akan memahami bahwa infak ini akan digunakan untuk kepentingan masjid. Kecuali jika di sana tertulis yang lain. Misal, tertulis: “Donasi untuk sosial” atau semacamnya.

Tanggung jawab pengelola infak adalah menyalurkannya sesuai dengan amanah yang diberikan pemberi infaq. Ketika yang memberi infak meyakini itu untuk masjid, itulah peruntukan infak yang diamanahkan.

Karena itu, kotak infak masjid tidak diperbolehkan disalurkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Infak ini hanya untuk kemaslahatan masjid.

الوقف إذا كان على معين- كالمسجد مثلا- لا يجوز صرفه إلى غيره إلا إذا انقطعت منافع المسجد الموقوف عليه، فصار لا يصلى فيه لعدم السكان حوله، فإنه ينقل إلى مسجد آخر بواسطة المرجع الرسمي المختص في ذلك‏.‏ وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Uang wakaf, jika ditujukan untuk program tertentu, misalnya masjid, tidak boleh digunakan untuk selain masjid. Kecuali jika masjid yang menerima infak ini sudah tidak berfungsi. Tidak ada yang shalat di sana, karena penghuni di sekitarnya tidak ada. Sehingga infak bisa dipindahkan ke masjid yang lain, melalui rekomendasi resmi yang menangani masalah terkait.[3]

Pertanyaan Bolehkah penggunaan kas Masjid atau Musholla untuk membiayai kegiatan Maulid atau rapat-rapat persiapanya? Jawaban Boleh jika kas tersebut untuk kemaslahatan Masjid dan masih mempertimbangkan mana yang lebih penting dalam penggunaan kas tersebut.

بغية المسترشدين – (1 / 132) ، ويجوز بل يندب للقيم

 أن يفعل ما يعتاد في المسجد من قهوة ودخون وغيرهما مما يرغب نحو المصلين ، وإن لم يعتد قبل إذا زاد على عمارته.

Artinya: Diperbolehkan bahkan disunnahkan bagi takmir melakukan sesuatu yang biasa dilakukan di masjid, seperti menyediakan kopi, rokok dan sesuatu yang disukai para jama’ah walaupun hal ini tidak dibiasakan sebelumnya apabila uang kas ini sudah melebihi untuk pembangunan masjid.

حاشية قليوبي وعميرة – (10 / 42) فُرُوعٌ : عِمَارَةُ الْمَسْجِدِ هِيَ الْبِنَاءُ وَالتَّرْمِيمُ وَالتَّجْصِيصُ لِلْأَحْكَامِ وَالسَّلَالِمُ وَالسَّوَارِي وَالْمَكَانِسُ وَالْبَوَارِي لِلتَّظْلِيلِ أَوْ لِمَنْعِ صَبِّ الْمَاءِ فِيهِ لِتَدْفَعَهُ لِنَحْوِ شَارِعٍ وَالْمَسَّاحِي وَأُجْرَةُ الْقَيِّمِ وَمَصَالِحِهِ تَشْمَلُ ذَلِكَ ، وَمَا لِمُؤَذِّنٍ وَإِمَامٍ وَدُهْنٍ لِلسِّرَاجِ وَقَنَادِيلَ لِذَلِكَ ، فتح الاله المنان ص 150 الموقوف على مصالح المساجد كما في مسئلة السؤال يجوز الصرف فيه البناء والتجصيص المحكم وفي أجرة القيم والمعلم والإمام والحصر والدهن وكذا فيما يرغب المصلين من نحو قهوة وبخور يقدم من ذلك الأهم فالأهم وعليه فيجوز الصرف في مسئلة السؤال لما ذكره السائل اذا فضل من عمارته ولم يكن ثم ما هو أهم منه من المصالح

Artinya: Barang yang diwakafkan untuk kemaslahatan masjid seperti yang terjadi pada pertanyaan diatas itu boleh di pergunakan untuk membangun, memperkuat masjid dan juga untuk membayar takmir, pengajar, imam, membeli karpet, minyak dan segala sesuatu yang disukai oleh paara jama’ah seperti kopi dan rokok. dalam hal ini juga harus mempertimbangkan mana yang lebih penting.[4]

Solusi & Saran

Jika takmir masjid berkeinginan menyelenggarakan kegiatan sosial berupa santunan untuk orang yang membutuhkan di sekitar masjid, atau untuk dana kesehatan, maka takmir bisa memasang pengumuman di kotak infak yang disediakan.

Misalnya, di salah satu kotak infak tertulis maklumat:

Infak untuk dana sosial” atau “Infak untuk dana kesehatan jamaah” dst. Sehingga ketika orang yang menyumbang memberikan uangnya, dia telah memahami bahwa dana itu akan diperuntukkan sebagaimana yang tertulis.

Allahu a’lam  bi as-sawab


 Oleh: Ustaz Abdurrohim Hrp S.Th.I.M.Us



[1] Zallum, Abdul Qadim, Al Amwal fi Dawlatil Khilafah, cetakan I (Beirut, Darul Ilmi lil Malayin.. 1983), 55.

[2] Az Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996.916.

[3] Fatwa Lajnah no. 15920. Ditanda tangani oleh: Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baz

[4] Hasil Keputusan Bahtsul masail LBM NU JOMBANG Di PP TARBIYATUNNASYIIN PACULGOWANG Pada hari Ahad Tanggal 2 Desember 2012 Sumber : https://jombang.nu.or.id/berita/menggunakan-kas-masjid-untuk-kegiatan

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Epistimologi Tafsir Politik/ Haraki/Siasi #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.

Pengertian Tafsir Tematik #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.

Pengertian Tafsir Lughawi #Abdurrohim Harahap S.Th.I., M.Us.