Biografi Ilmuwan Muslim Dunia
By: Abdurrohim Hrp S.Th.I., M.Us
Al-Fazari
Beliau
memiliki nama lengkap Abu abdallah Muhammad bin Ibrahim al-Fazari
(meninggal 796 atau 806) adalah seorang filsuf, matematikawan dan astronom
Muslim. Ia banyak menterjemahkan buku-buku sains ke dalam bahasa Arab dan
Persia. Ia juga merupakan astronom muslim pertama yang membuat astrolobe, alat
untuk mengukur tinggi bintang. Ia pernah mendapat tugas untuk menterjemahkan
ilmu angka dan ilmu hitung, serta ilmu astronomi India yang bernama Sind Hind,
oleh khalifah Al Mansyur dari Abbasiyah.
Ayahnya bernama Ibrahim Al-Fazari yang juga seorang astronom dan matematikawan.
Beberapa sumber menyebut dia sebagai seorang Arab, sumber lain menyatakan bahwa
ia adalah seorang Persia. Al Farazi menetap serta berkarya di Baghdad, Irak,
ibu kota kekhalifahan Abbasiyah.
Muhammad
bin Ibrahim al-Fazari bersama ayahnya, Ibrahim al fazari, merupakan seorang
ahli matematika dan astronom di istana kekhalifahan Abbasiya, di era khalifah
harun al Rasyid. Ia menyusun berbagai jenis penulisan astronomi.
Bersamaan dengan Ya’qub ibn Thariq dan ayahnya, ia membantu menterjemahkan teks
astronomi India oleh Brahma gupta (abad 7 M), Brahma Sphuta Siddhanta, ke dalam
bahasa Arab sebagai Az jiz ala Sini al Arab atau kitab Sindhind. Terjemahan ini
dimungkinkan sebagai saran penting dalam tranmisi angka hindu dari India ke
dalam Islam.
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa saat itu memberikan peluang dan dukungan yang
sangat besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan apalagi dalam bidang
astronomi. Khalifah al-Mansyur adalah penguasa Abbasiyah pertama yang memberi
perhatian serius dalam pengkajian astronomi dan astrologi.
Khalifah
Harun al rasyid mengumpulkan dan mendorong cendekiawan muslim untuk
menerjemahkan beragam literatur yang berasal dari Yunani, Romawi Kuno, India,
hingga Persia. Al Farazi adalah salah satu astronom paling awal di dunia Islam.
Beliau memegang peran penting dalam kemajuan ilmu astronomi di masa Abbasiyah.
Al-Fazari menerjemahkan beberapa literatur asing ke dalam bahasa Arab dan
Persia. Bersama dengan beberapa cendekiawan lain, seperti Naubakht, dan Umar
ibnu al-Farrukhan al-Tabari,
beliau meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan di dunia Islam.
sekitar tahun 790, Al-Fazari menterjemahkan banyak buku sience ke dalam bahasa Arab dan Iran. Ia ditasbihkan sebagai pencipta astrolabe pertama dalam dunia Islam. Bersamaan dengan Yaʿqub ub ibn Tariqia membantu menerjemahkan teks astronomi India oleh Brahmagupta, Sindhind., dalam bahasa Arab, Az-Zij ‛ala Sini al-‛Arab(Tables of the disks of the astrolabe).
Penerjemahan
ini kemungkinan merupakan awal dimana angka Hindu ditransmisi dari India ke
Islam. Buku tersebut dibawa oleh seorang pengembara dan ahli astronomi India
bernama Mauka ke Baghdad dan segera menarik perhatian kaum cendekia di sana.
Al-Fazari menunaikan tugas dengan baik, menurut Ehsan Masood dalam bukunya
“Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern”, saat itu telah menguasai
astronomi sehingga di bawah arahan khalifah langsung beliau mampu menerjemahkan
dan menyadur teks astronomi India kuno yang sangat teknis tersebut. Kemudian
beliau memberi judul Zij al Sinin al Arab (Tabel Astronomi Berdasarkan
Penanggalan Bangsa Arab) pada karya terjemahannya tersebut.
Menurut Ehsan Masood, penerjemahan Sindhind sangat berharga. Bukan hanya karena wawasan astronominya tapi juga sistem penomoran India, Kalpa Aharganas dengan perhitungan tahun Hijriah Arab. Selain itu, karya al Farazi mencantumkan daftar negara-negara di dunia dan dimensinya berdasarkan perhitungan tabel. Hasil kerja Al Farazi melalui penerjemahan mengenalkan sistem penomoran tersebut ke dunia Arab.
Astrolab
planisferis merupakan mesin hitung analog pertama, difungsikan sebagai alat
bantu astronomi untuk menghitung waktu terbit dan tenggelam serta titik
kulminasi matahari dan bintang serta benda langit lainnya pada waktu tertentu.
Astrolab menjadi instrumen paling penting yang pernah dibuat. Dengan desain
akurat, astrolab menjadi instrumen penentu posisi pada abad pertengahan.
Astrolab merupakan model alam semesta yang bisa digenggam sekaligus jam
matahari untuk mengukur tinggi dan jarak bintang. Chaucer dalam “Treatise in
the Astrolabe” menyatakan bahwa Astrolab kemudian menjadi alat navigasi utama,
hanya dalam beberapa bulan setelah ditemukan Astrolab oleh Al Farazi, kemajuan
Astrolab memainkan peranan penting dalam pencapaian bidang astronomi oleh umat
Muslim hingga masa-masa berikutnya. Seorang astronom bernama al Sufi berhasil
memanfaatkannya dengan baik. Al Sufi mampu memetakan sekitar seribu kegunaan
Astrolab dalam berbagai bidang yang berbeda seperti astronomi, astrologi,
digunakan termasuk meramalkan posisi matahari, bulan, planet, dan
bintang-bintang, navigasi. Dalam dunia Islam, Astrolabe digunakan untuk
menemukan waktu matahari terbit dan naik dari bintang-bintang, untuk membantu
jadwal (shalat).
Pada abad ke-13, karya ini ditemukan kembali oleh penjelajah dan ahli geografi
Muslim bernama Yaqut al-Hamawi dan al-Safadi. Gairah dan kemauan para sarjana
Muslim belajar dari tradisi ilmu lain serta dukungan penuh dari pemerintahan
menjadi kunci keberhasilan dalam memajukan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
- 2. Al-Zahrawi
Abu
Qasim al-Zahrawi adalah seorang pioner dalam ilmu bedah modern. Beliau
merevolusi ilmu bedah klasik dan meletakkan kaidah-kaidah bedah yang menjadi
pijakan ilmu bedah modern saat ini.
Al-Zahrawi menemukan metode dan alat-alat bedah baru yang memudahkan para
pasien. Ia juga memiliki 30 jilid ensiklopedi bedah yang dijadikan rujukan
utama ilmu bedah di Eropa selama beberapa abad dan menjadi pijakan ilmu
kedokteran modern.
Abul Qasim Khalaf bin al-Abbas- al-Zahrawi, orang-orang Barat mengenalnya dengan Abulcasis. Dilahirkan pada tahun 936 dan wafat tahun 1013 M di Kota al-Zahra, al-Zahrawi mengabdi pada kekhalifahan Bani Umayyah II di Cordoba, Andalusia. Awalnya ia dikenal sebagai seorang fisikawan, sampai akhirnya ia memperkenalkan teori-teori dan alat-alat bedah dalam ilmu kedokteran, barulah orang-orang mengenalnya sebagai dokter ahli bedah (al-Hassani, 2005: 167).
Pencapaian
al-Zahrawi dalam ilmu bedah sangat banyak dan luar biasa, sampai-sampai ia
dianggap sebagai orang pertama yang menjadikan ilmu bedah sebagai spesialisasi
tersendiri dalam ilmu kedokteran. Al-Zahrawi adalah di antara orang pertama
yang menemukan alat-alat bedah dan menemukan teori mengikat organ tubuh saat
pembedahan yang tujuannya untuk mencegah pendarahan. Selain itu, ia juga
membuat benang untuk menjahit bekas bedah dan orang pertama yang menggunakan
suntik.
Karyanya yang paling fenomenal adalah At-Tashrif Liman Ajiza ‘an Ta’lif, sebuah
ensiklopedi kedokteran yang disusun dalam 30 jilid buku. Buku yang selesai
penulisannya pada tahun 1000 ini berisikan tentang berbagai topik medis
termasuk tentang kesehatan gigi dan melahirkan. At-Tashrif disusun selama 50
tahun karir kedokteran al-Zaharawi, baik pelatihan, mengajar, dan praktek.
Buku
ini juga memuat tentang pentingnya hubungan positif antara dokter dan pasien.
Ia juga menulis tentang kasih sayangnya terhadap murid-muridnya yang ia disebut
sebagai “anak-anak saya”. Ia menekankan pentingnya merawat pasien tanpa
memandang status sosial mereka dan mendorong pengamatan secara persuasif
terhadap kasus-kasus individu untuk membuat diagnosis yang paling akurat dan
perawatan yang sebaik mungkin.
At-Tashrif diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh seorang Italia yang bernama
Gerard pada abad ke-12. Selama 5 abad berikutnya buku tersebut menjadi rujukan
utama untuk perkembangan medis di Eropa khususnya ilmu bedah.
Menurut
al-Zahrawi seseorang tidak akan menguasai ilmu bedah sampai ia menguasai ilmu
kedokteran umum, anatomi, dan tulisan-tulisan filsuf yang belajar ilmu
kedokteran. Ia memelopori banyak prosedur dan peralatan yang digunakan di ruang
operasi saat ini. Dialah orang pertama yang menggunakan catgut sebagai benang
untuk jahitan rongga dalam. Catgut adalah benang yang terbuat dari lapisan usus
hewan yang merupakan satu-satunya bahan yang sangat baik digunakan untuk
menjahit bagian dalam karena bisa diserap oleh tubuh, dan mencegah untuk
dilakukan operasi kedua untuk menghilangkan jahitan tersebut.
Ia menemukan banyak alat yang diperlukan untuk operasi modern. Dia adalah orang
pertama yang menggunakan foreceps saat melahirkan, yang sangat membantu dalam
mengurangi angka kematian bayi dan ibu saat proses melahirkan. Dia melakukan
tonsilektomi (Wikipedia: operasi pengangkatan tonsil/mandel/amandel) dengan
penjepit lidah, kait, dan gunting yang sama dengan dokter di era modern saat
ini.
Untuk
mengurangi ketakutan dan kekhawatiran pasiennya saat akan dioperasi, al-Zahrawi
menggunakan sebuah pisau tertentu yang membuat sang pasien nyaman secara
psikis. Adapun cara untuk menghilangkan sakit secara fisik, ia menganastesi
(bius) pasiennya baik di tubuh yang akan dioperasi juga bius oral (minum
penenang). Mansektomi (pengangkatan payudara) pada penderita kanker payudara
yang dilakukan oleh al-Zahrawi juga sama dengan yang dilakukan oleh dokter saat
ini
Al-Tasrif berisi berbagai topik mengenai kedokteran, termasuk di antaranya
tentang gigi dan kelahiran anak. Buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin oleh
Gerardo dari Cremona pada abad ke-12, dan selama lima abad Eropa Pertengahan,
buku ini menjadi sumber utama dalam pengetahuan bidang kedokteran di Eropa.
Dalam kitab yang diwariskannya bagi peradaban dunia itu, Al-Zahrawi secara
rinci dan lugas mengupas tentang ilmu bedah, orthopedi, opththalmologi,
farmakologi, serta ilmu kedokteran secara umum. Ia juga mengupas tentang
kosmetika. Al-Zahrawi pun ternyata begitu berjasa dalam bidang kosmetika.
Sederet produk kosmetika seperti deodoran, hand lotion, pewarna rambut yang
berkembang hingga kini merupakan hasil karya Al-Zahrawi.
Popularitas Al-Zahrawi sebagai dokter bedah yang andal menyebar hingga ke
seantero Eropa. Tak heran, bila kemudian pasien dan anak muda yang ingin
belajar ilmu kedokteran dari Abulcasis berdatangan dari berbagai penjuru Eropa.
Menurut Will Durant, pada masa itu Cordoba menjadi tempat favorit bagi
orang-orang Eropa yang ingin menjalani operasi bedah. Di puncak kejayaannya,
Cordoba memiliki tak kurang 50 rumah sakit yang menawarkan pelayanan yang
prima.
Meskipun
memiliki pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni dalam ilmu bedah, al-Zahrawi
selalu menolak untuk melakukan operasi berisiko atau tidak ia diketahui yang
akan menjadi stres fisik dan emosional bagi pasien. Ia percaya akan pentingnya
kehidupan manusia dan berusaha untuk memperpanjangnya selama mungkin.
Dalam menjalankan praktik kedokterannya, Al-Zahrawi menankan pentingnya
observasi tertutup dalam kasus-kasus individual. Hal itu dilakukan untuk
tercapainya diagnosis yang akurat serta kemungkinan pelayanan yang terbaik.
Al-Zahrawi pun selalu mengingatkan agar para dokter untuk berpegang pada norma
dan kode etik kedokteran, yakni tak menggunakan profesi dokter hanya untuk
meraup keuntungan materi.
Menurut Al-Zahrawi profesi dokter bedah tak bisa dilakukan sembarang orang.
Pada masa itu, dia kerap mengingatkan agar masyarakat tak melakukan operasi
bedah kepada dokter atau dukun yang mengaku-ngaku memiliki keahlian operasi
bedah. Hanya dokter yang memiliki keahlian dan bersertifikat saja yang boleh
melakukan operasi bedah. Mungkin karena itulah di era modern ini muncul istilah
dokter spesialis bedah (surgeon).
Kehebatan
dan profesionalitas Al- Zahrawi sebagai seorang ahli bedah diakui para dokter
di Eropa. ‘’Tak diragukan lagi, Al-Zahrawi adalah kepala dari seluruh ahli
bedah,’‘ ucap Pietro Argallata. Kitab Al- Tasrif yang ditulisnya lalu
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12 M.
Kitab itu juga dilengkapi dengan ilustrasi. Kitab itu menjadi rujukan dan buku
resmi sekolah kedokteran dan para dokter sera ahli bedah Eropa selama lima abad
lamanya pada periode abad pertengahan.
Sosok dan pemikiran Al-Zahrawi begitu dikagumi para dokter serta mahasiswa
kedokteran di Eropa. Pada abad ke-14 M, seorang ahli bedah Prancis bernama Guy
de Chauliac mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif
terus menjadi pegangan para dokter di Eropa hingga terciptanya era Renaissance.
Hingga abad ke- 16 M, ahli bedah berkebangsaan Prancis , Jaques Delechamps
(1513 M – 1588 M) masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.
Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013 M – dua tahun setelah tanah kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Meski Corboba kini bukan lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6 yakni rumah tempat Al-Zahrawi tinggal. Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol.
- 3. Ibnu Al-Baitar
Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baitar Dhiya al-Din al-Malaqi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Al-Baitar adalah ahli botani (tetumbuhan) dan farmasi (obat-obatan) pada abad pertengahan. Ia juga dokter dan ilmuwan. Ibnu Al-Baitar juga telah mengungkapkan tentang potasium nitrat pada tahun 1240 M.
Ibnu
Al-Baitar lahir pada akhir abad 12 (1197) di kota Malaga (Spanyol), Ibnu
Al-Baitar menghabiskan masa kecilnya di tanah Andalusia tersebut. Minatnya pada
tumbuh-tumbuhan sudah tertanah semenjak kecil. Beranjak dewasa, dia pun belajar
banyak mengenai ilmu botani kepada Abu al-Abbas al-Nabati yang pada masa itu
merupakan ahli botani terkemuka. Dari sinilah, al-Baitar pun lantas banyak
berkelana untuk mengumpulkan beraneka ragam jenis tumbuhan.
Tahun 1219 dia meninggalkan Spanyol untuk sebuah ekspedisi mencari ragam
tumbuhan. Bersama beberapa pembantunya, al-Baitar menyusuri sepanjang pantai
utara Afrika dan Asia Timur Jauh. Tidak diketahui apakah jalan darat atau laut
yang dilalui, namun lokasi utama yang pernah disinggahi antara lain Bugia,
Qastantunia (Konstantinopel), Tunisia, Tripoli, Barqa dan Adalia.
Setelah
tahun 1224 al-Baitar bekerja untuk al-Kamil, gubernur Mesir, dan dipercaya
menjadi kepala ahli tanaman obat. Tahun 1227, al-Kamil meluaskan kekuasaannya
hingga Damaskus dan al-Baitar selalu menyertainya di setiap perjalanan. Ini
sekaligus dimanfaatkan untuk banyak mengumpulkan tumbuhan.
Ketika tinggal beberapa tahun di Suriah, Al-Baitar berkesempatan mengadakan
penelitian tumbuhan di area yang sangat luas, termasuk Saudi Arabia dan
Palestina, di mana dia sanggup mengumpulkan tanaman dari sejumlah lokasi di
sana.
Sumbangsih utama Al-Baitar adalah Kitab al-Jami fi al-Adwiya al- Mufrada. Buku ini sangat populer dan merupakan kitab paling terkemuka mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan ilmu pengobatan Arab. Kitab ini menjadi rujukan para ahli tumbuhan dan obat-obatan hingga abad 16. Ensiklopedia tumbuhan yang ada dalam kitab ini mencakup 1.400 item, terbanyak adalah tumbuhan obat dan sayur mayur termasuk 200 tumbuhan yang sebelumnya tidak diketahui jenisnya. Kitab tersebut pun dirujuk oleh 150 penulis, kebanyakan asal Arab, dan dikutip oleh lebih dari 20 ilmuwan Yunani sebelum diterjemahkan ke bahasa Latin serta dipublikasikan tahun 1758.
Karya fenomenal kedua Al-Baitar
adalah Kitab al-Mlughni fi al-Adwiya al-Mufrada yakni ensiklopedia obat-obatan.
Obat bius masuk dalam daftar obat terapetik. Ditambah pula dengan 20 bab
tentang beragam khasiat tanaman yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Pada
masalah pembedahan yang dibahas dalam kitab ini, Al-Baitar banyak dikutip
sebagai ahli bedah Muslim ternama, Abul Qasim Zahrawi.
Selain bahasa Arab, Baitar pun kerap memberikan nama Latin dan Yunani kepada
tumbuhan, serta memberikan transfer pengetahuan. Kontribusi Al-Baitar tersebut
merupakan hasil observasi, penelitian serta pengklasifikasian selama
bertahun-tahun. Dan karyanya tersebut di kemudian hari amat mempengaruhi
perkembangan ilmu botani dan kedokteran baik di Eropa maupun Asia. Meski
karyanya yang lain yakni kitab Al-Jami baru diterjemahkan dan dipublikasikan ke
dalam bahasa asing, namun banyak ilmuwan telah lama mempelajari bahasan-bahasan
dalam kitab ini dan memanfaatkannya bagi kepentingan umat manusia.
Karya lain: Mizan al-Tabib, Risalah fi'l-aghdhiya wa-adwiya, Maqāla fi'l-laymūn, Risalah tentang Lemon, juga telah dikaitkan dengan Ibn Jumac ; diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Andrea Alpago, Tafsir Kitab Diyusqūrīdis, sebuah komentar pada empat buku pertama Dioscorides .
Ibnu Al-Baitar meninggal di Damaskus pada tahun 1248. Dunia mengenangnya
sebagai seorang yang paling berjasa dalam bidang ilmu tumbuh-tumbuhan, dan
berpengaruhpenting dalam perkembangan ilmu botani.
Sebagian besar buku karya Ibnu al-Baitar berasal dari hasil penelitiannya
selama beberapa tahun terhadap berbagai jenis tumbuhan. Tak hanya berisi hasil
penelitian, buku tersebut juga di lengkapi penjelasan & komentar panjang.
Di kemudian hari, karya-Karya Ibnu al-Baitar menjadi buku rujukan ilmu botani
yang sangat penting. Kontribusi Ibnu al-Baitar tersebut sangat mempengaruhi
perkembangan ilmu botani & kedokteran selanjutnya, baik di Eropa maupun
Asia.
- 4. Ibnu sina
Ibnu
Sina atau di Dunia Barat dikenal sebagai Avicenna
adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia
(sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang
produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan
pengobatan. karya-karyanya di bidang kedokteran sangat terkenal salah satunya
adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama
berabad-abad.
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven
Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran
sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”.
Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari
filosof - filosof).
Komentar
Posting Komentar